Kalau kita tilik dunia pendidikan, ada lagi yang bikin miris. Pelajaran lingkungan hidup diajarkan secara teori, jarang menyentuh tanah basah di bawah kaki. Siswa belajar fotosintesis dan siklus air di atas kertas, tapi jarang diajak menanam pohon atau merawat hutan. Pendidikan kita membangun kecerdasan, tapi belum tentu membangun kesadaran.
Lebih parah lagi, pendidikan jarang menanamkan rasa tanggung jawab kolektif. Kita dituntut dapat nilai bagus, tapi tak dituntut jaga kampung halaman. Kita diajari menghitung curah hujan, tapi tak diajari menghitung akibat moral dari hutan gundul. Kita belajar jadi pintar, tapi belum tentu belajar jadi peduli.
Alhasil, masyarakat tumbuh dengan mentalitas menunggu. Nunggu pemerintah bergerak, nunggu bantuan datang, nunggu bencana berikutnya. Reboisasi bukan jadi kesadaran, cuma proyek musiman. Padahal setiap pohon yang hilang meninggalkan lubang di bumi dan juga di tekad kita untuk hidup berkelanjutan.
Dan begitulah, cerita ini berulang. Tahun demi tahun. Generasi demi generasi. Alam bekerja dengan kepastian, sementara manusia sibuk menunda.
Tapi di balik semua ini, masih ada secercah harapan. Tipis, seperti tunas muda yang tetap tumbuh meski hutannya disikat. Harapan bahwa suatu hari kita akan melihat bencana bukan sebagai peristiwa tunggal, tapi sebagai bagian dari rantai sebab-akibat yang kita ciptakan. Harapan bahwa kita akan memandang hutan bukan sebagai objek, tapi mitra hidup. Harapan bahwa pendidikan akan melahirkan manusia yang tak cuma cerdas, tapi juga sadar dan bertindak.
Mungkin, untuk memutus tradisi kelam ini, kita harus mulai dari hal sederhana: ingat. Ingat bahwa bencana punya masa depan, bukan cuma masa kini. Ingat bahwa setelah air surut, tugas kita justru baru dimulai. Ingat bahwa reboisasi bukan cuma menanam pohon, tapi juga menanam kesadaran baru.
Kalau kita tak belajar dari bencana, maka bencana akan terus jadi guru yang kejam. Kalau kita tak merawat hutan, maka hutan akan terus merawat kematian.
Sampai kita paham betul soal ini, kalimat itu akan tetap jadi kenyataan pahit: bencana cuma penting saat terjadi. Bukan setelahnya. Tapi mungkin pelan-pelan, dengan kesadaran dan nyali kita bisa mengubahnya.
Penulis: Penggiat Pendidikan, Pemerhati Sosial dan Lingkungan Hidup.
Artikel Terkait
Surabaya Serukan Jauhi Penyakitnya, Bukan Orangnya di Hari AIDS Sedunia
Sutoyo Abadi Ramalkan Puncak Aksi Rakyat untuk Jokowi dan Luhut
Kedaulatan Udara Morowali Diuji, Kemenhub Cabut Status Internasional Bandara IMIP
Misi Rahasia Supir Taksi dan Jurnalis yang Bongkar Brutalitas Rezim Gwangju