Bencana Hanya Penting Saat Terjadi, Bukan Setelahnya
Penulis: Makdang Edi
Ironi itu terus mengalir dalam kehidupan kita. Seperti sungai yang membawa lumpur dari hulu yang telah gundul. Setiap musim hujan, kita disuguhi parade berita yang nyaris sama: banjir menerjang kota, tanah longsor menelan rumah, tangisan keluarga yang kehilangan.
Tapi begitu hujan reda, langit mulai cerah, perhatian kita pun ikut menguap. Bencana perlahan menghilang dari layar televisi, menjauh dari obrolan sehari-hari, lalu lenyap dari ingatan kolektif. Seolah kepedulian kita hanya hidup saat air masih menggenang dan kamera masih merekam.
Kita punya tradisi yang aneh, bukan? Bencana cuma penting saat sedang terjadi. Bukan sesudahnya.
Di hulu-hulu sungai, hutan yang dulu menjadi penjaga tanah kini menyusut bak ingatan yang terlupakan. Semua tahu penyebab banjir dan longsor: kerusakan hutan, penggundulan liar, eksploitasi berkedok pembangunan. Tapi pengetahuan itu cuma mengambang. Tak kunjung jadi tindakan nyata. Kita seperti bangsa yang paham tapi enggan bergerak, atau ingat tapi tak mau berubah.
Dari sisi kebudayaan, tragedi ini punya akar yang dalam. Pola pikir kita lebih reaktif ketimbang preventif. Saat bencana datang, kita jago bersimpati kirim bantuan, galang dana, ucapkan doa. Namun begitu lumpur dibersihkan dan korban ditemukan, kita kembali ke rutinitas seolah tak ada pelajaran yang harus diambil. Media berhenti meliput, publik berhenti bicara, pemerintah berhenti mendesak. Alam sudah memberi peringatan, tapi manusia balas dengan lupa.
Sebagian besar dari kita dibesarkan dalam budaya yang memandang alam sekadar sumber daya. Pohon berarti kayu, hutan adalah komoditas, sungai cuma saluran air. Kita lupa bahwa alam punya bahasanya sendiri bahasa kesabaran, ketenangan, kesunyian. Bahasa yang baru kita pahami saat dia marah.
Padahal, nenek moyang kita punya kearifan yang lebih baik. Dalam banyak budaya lokal, hutan bukan sekadar kumpulan pohon, tapi wilayah suci yang dijaga aturan adat. Ada leuweung larangan yang tak boleh disentuh, ada sasi yang menghentikan penebangan sementara, ada ajaran tentang menanam sebelum menebang. Sayangnya, nilai-nilai itu pelan-pelan ditinggalkan. Digantikan logika modern yang serba insta: ambil dulu, urusan nanti atau malah tak sama sekali.
Artikel Terkait
Surabaya Serukan Jauhi Penyakitnya, Bukan Orangnya di Hari AIDS Sedunia
Sutoyo Abadi Ramalkan Puncak Aksi Rakyat untuk Jokowi dan Luhut
Kedaulatan Udara Morowali Diuji, Kemenhub Cabut Status Internasional Bandara IMIP
Misi Rahasia Supir Taksi dan Jurnalis yang Bongkar Brutalitas Rezim Gwangju