Jejak Kata – Gde Siriana Yusuf
Edisi 26 November 2025
Ketika Keadilan Menunggu Viral
Ada frasa baru yang tak pernah tercantum dalam buku-buku hukum, tapi justru paling menentukan di republik ini: No Viral, No Justice. Keadilan, yang dulu digambarkan Bertrand Russell sebagai "pilar peradaban yang tenang", kini lebih mirip orang bingung di perempatan jalan menoleh ke kiri ke arah KUHAP, menoleh ke kanan ke arah netizen.
Dua peristiwa terbaru mempertegas hal itu. Ada abolisi untuk Tom Lembong dan rehabilitasi untuk Ira Puspadewi. Dua kasus berbeda, dua lembaga penegak hukum berbeda, tapi polanya sama: publik ribut dulu, negara bergerak belakangan.
Seolah hukum di negeri ini tidak lagi bertanya "Apa buktinya?", tetapi "Sudah trending nomor satu belum?"
Prabowo memberi abolisi kepada Tom Lembong setelah gelombang publik meyakini dakwaan jaksa sebagai kriminalisasi intelektual. Lembong bukan sekadar ekonom, ia mantan menteri yang terlalu keras kepala untuk masuk ruang gelap transaksi kekuasaan. Ketika ia dijerat, publik mencium bau anyir. Ketika ia diberi abolisi, publik bernapas lega tapi juga bertanya pelan: kok baru sekarang?
Kasus Ira Puspadewi juga sama getirnya. Publik meyakini Direktur ASDP yang memberi keuntungan untuk negara tapi malah didakwa memperkaya orang, dan kini dirinya mendapat rehabilitasi dari presiden. Sebuah ironi yang hanya mungkin terjadi ketika proses hukum bekerja mundur: bukan keadilan yang datang lebih dulu, tetapi prasangka kekuasaan.
KPK yang seharusnya meletakkan hukum sebagai pagar justru terpeleset di halaman rumahnya sendiri. Dan lagi-lagi, publiklah yang menggedor pintu.
Di titik ini, kredibilitas kejaksaan dan KPK retak bukan karena salah satu kasus, tetapi karena polanya: mereka tampak bekerja bukan pada ritme hukum, tetapi pada ritme politik dan sentimen publik.
Filsuf Prancis Albert Camus pernah menulis dalam kapasitasnya sebagai filsuf bahwa "kebenaran sering kalah bukan oleh kebohongan, tapi oleh ketakutan."
Pertanyaannya: apa yang ditakuti lembaga penegak hukum kita? Kekuasaan? Atau komentar netizen?
Fenomena ini sebenarnya bukan barang baru. Sudah lama masyarakat tahu bahwa banyak perkara kecil berjalan tersendat kasus penganiayaan, pencabulan anak, pemerasan, sengketa tanah, atau penggelapan kecil yang merusak hidup keluarga kelas menengah bawah. Laporannya masuk, berkasnya jalan di tempat. Polisi sibuk. Jaksa menunggu. Waktu melarutkan luka.
Sampai... ada video. Sampai... akun Instagram centang biru mengangkat. Sampai... netizen naik darah.
Baru setelah itu, pelaku dicari dalam dua jam, ditangkap dalam tiga jam, dan konferensi pers dibuat dalam empat jam. Seolah negara menyiapkan dua mode operasi Mode Default: lambat, bertele-tele, penuh formalitas. Mode Viral: cekatan, heroik, dramatis.
Rakyat kecil tahu benar polanya: kalau ingin diproses cepat, bikin ramai dulu. Keadilan berubah menjadi kompetisi algoritma.
Artikel Terkait
WhatsApp Ayah Dibobol, Teror Menyergap Mahasiswi Pengkritik Pemerintah
Program MBG Ringankan Beban Ibu, Anak pun Semangat ke Sekolah
Analis: Sikap Anti-Ikhwanul Muslimin Berisiko Sejajarkan Diri dengan Barisan Kafir
Tiga Nyawa Melayang dalam Kobaran Api di Ruko Bantaeng