Oleh: Dian Tri Utami
Media digital kini sudah jadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Semua serba mudah berkat teknologi. Tapi, di balik semua kemudahan itu, ada tanggung jawab besar yang harus kita pikul, terutama sebagai seorang muslim.
Nah, dalam Islam, media digital sebenarnya punya peran yang sangat strategis. Misalnya untuk dakwah, menimba ilmu, atau bahkan sekadar mempererat silaturahmi. Majelis Ulama Indonesia sendiri menegaskan, media sosial bisa dimanfaatkan untuk hal-hal positif seperti menyebarkan informasi yang bermanfaat, kegiatan pendidikan, hingga urusan ekonomi dan sosial budaya.
Tapi, di sisi lain, kita juga harus tetap waspada. Dunia digital itu ruang yang sangat luas. Banyak informasi berseliweran, dan tidak semuanya benar. Sebagai pengguna yang aktif, kita perlu punya filter yang kuat agar terhindar dari hal-hal negatif.
Etika Bermedia Digital dalam Sorotan Al-Quran
Bagi muslim, Al-Qur'an adalah pedoman hidup. Termasuk juga dalam hal berkomunikasi, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Etika kita harus mencerminkan nilai-nilai Islami, mulai dari cara menyampaikan pesan hingga pemilihan kata-kata.
Filterisasi secara Islami ini penting. Tujuannya jelas: agar komunikasi kita tidak hanya sampai, tapi juga tidak menimbulkan permusuhan. Semua harus sejalan dengan akidah, syariah, dan tentu saja, akhlak.
Lalu, prinsip apa saja yang harus jadi pegangan?
Pertama, Tabayyun: Jangan Asal Sebar!
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Ayat ini jelas sekali menekankan pentingnya tabayyun. Sebelum menerima atau yang lebih berbahaya menyebarkan sebuah informasi, kita wajib memastikan kebenarannya dulu. Ini langkah sederhana tapi dampaknya besar: mencegah kita menyebar hoaks, fitnah, atau informasi yang menyesatkan.
Fatwa MUI tentang bermuamalah lewat media sosial juga menggarisbawahi hal yang sama. Intinya, jangan buru-buru share konten, baik yang positif apalagi negatif, sebelum diverifikasi dan dipastikan manfaatnya.
Proses tabayyun ini bisa dilakukan dengan mengecek sumbernya. Bagaimana rekam jejak si pemberi info? Lalu, periksa juga isi kontennya. Apakah sesuai konteks tempat dan waktunya? Jangan sampai asal comot.
Kedua, Jauhi Konten Haram dan Berbahaya
Islam dengan tegas melarang segala bentuk perbuatan haram. Ghibah, adu domba, fitnah, bullying, ujaran kebencian semua itu dilarang. Di dunia digital, godaannya justru lebih besar. Kita bisa dengan mudah terpapar atau bahkan tanpa sengaja ikut menyebarkan konten semacam itu.
Fungsi filterisasi di sini adalah untuk memblokir atau setidaknya membatasi akses kita pada konten-konten negatif yang bisa merusak moral dan meruntuhkan harmoni sosial.
Allah SWT mengingatkan dalam QS. An-Nur ayat 16:
وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيم
“Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: 'Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.'”
Artikel Terkait
Status Tanggap Darurat Semeru Diperpanjang, Warga Diimbau Tak Lengah
Dompet Dhuafa Ajak Konten Kreator Saksikan Penyaluran Zakat ke Muslim Samosir
Demokrat dan PKS Bahas Masa Depan Pemilu dalam Pertemuan Akrab
Kaji Ulang Kasus ASDP, KPK Tinjau Kembali Langkah Hukum Pasca Rehabilitasi Presiden