Muktamar NU harus kembali sederhana, bersahaja, dan berbasis swadaya. Tidak perlu tiket, tidak perlu sangu, tidak perlu fasilitas mewah apalagi private jet atau charter pesawat oleh pihak ketiga. Semua itu cuma melahirkan ketergantungan, pembelokan loyalitas, dan kooptasi kepentingan yang tidak pernah menguntungkan jama'ah.
Biarlah delegasi PCNU, PCINU, dan PWNU yang hadir datang dengan biaya hasil urunan anggota masing-masing. Muktamar bukan pesta akbar; ini forum musyawarah agama, bukan panggung promosi kandidat atau pertunjukan kemewahan yang bertolak belakang dengan akar tradisi NU.
Kalau Muktamar bersih dari ongkos politik, maka kita bisa memilih pemimpin yang memang layak, bukan yang paling banyak menutupi biaya. Kualitas harus melampaui modal. Integritas lebih tinggi dari lobi.
Mengembalikan NU ke Nafas Awal
Jangan lupa, NU dulu berdiri dari kultur kesederhanaan para kiai kampung: mengajar, membimbing, mengayomi umat dengan apa adanya. Tidak ada glamor. Tidak ada transaksi.
Menyederhanakan NU artinya mengembalikan napas itu. Struktur yang jelas, manajemen yang rapi, ekonomi mandiri, dan Muktamar yang kembali menjadi ruang suci musyawarah, bukan medan kontestasi pragmatis.
Dengan begitu, jam'iyyah ini bisa pulih dari sakitnya, kembali berjalan, dan memberi arah nyata bagi jama'ah yang selama ini tetap bergerak meski rumah besarnya sedang retak.
NU terlalu besar untuk dibiarkan kacau, dan terlalu mulia untuk dibiarkan diseret oleh kepentingan jangka pendek. Menyederhanakan NU bukan kemunduran: justru itulah satu-satunya jalan untuk melangkah maju.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Artikel Terkait
Tujuh Nama Lolos Saringan, KY Periode 2025-2030 Resmi Diresmikan DPR
Mahfud MD Desak PBNU Berdamai, Soroti Akar Konflik di Balik Sengketa Tambang
Vonjang Masa Depan Mario Dandy: 18 Tahun di Balik Jeruji
Kejati Kalbar Geledah Rumah Tersangka, Ungkap Kekurangan Volume Dana Hibah Gereja