Deretan bilik-bilik di sisi kiri TPU Kemiri, Jakarta Timur, membentuk semacam lorong yang teduh dan seolah tak berujung. Di bawahnya, air got mengalir perlahan. Suasananya sunyi, tapi justru di sanalah Imah, 66 tahun, menjalani kesehariannya sejak 2006, pindah dari lapak lamanya di Pasar Sore.
Setelah suaminya yang dulu bekerja sebagai perawat makam meninggal, Imah tetap bertahan di hunian kecil itu. Kini, anaknyalah yang meneruskan pekerjaan merawat nisan-nisan itu.
“Kita mah numpang. Numpang cari makan seperak dua perak,” ujarnya dengan suara lirih.
Menurut Imah, tak sembarang orang bisa tinggal di deretan sekitar 20 rumah sempit itu. “Enggak bisa asal datang. Ibu di sini kan pekerja, makanya boleh di sini. Yang tinggal sini ya perawat-perawat makam. Karena kerja di sini,” tuturnya.
Rumah-rumah itu tak punya sertifikat atau bukti kepemilikan. Status hukumnya mengambang. Satu-satunya yang mereka pegang cuma izin tinggal dari kepala TPU. Imah sendiri pasrah jika suatu hari pemerintah meminta mereka pergi. “Kalau pemerintah pakai, kita enggak bisa apa-apa,” katanya.
Di tempat itu, listrik dan air mereka pasang sendiri. Fogging dari RT datang seminggu sekali. Tapi tetap saja, bau got dan nyamuk jadi masalah yang tak pernah selesai. “Namanya tinggal di atas got, udah pasti. Kita juga udah biasa,” ucap Imah, menerima keadaan.
Untuk bertahan hidup, ia mengandalkan warung kecilnya. Omzet tertinggi cuma sekitar Rp 150.000 per hari itupun belum tentu setiap hari. Sementara anaknya merawat lima sampai sepuluh makam dengan upah Rp 25.000–Rp 50.000 per nisan per bulan. “Tapi kan merawat itu bisa 5, 10 makam,” imbuhnya.
Sudah puluhan tahun menetap, bantuan sosial tak pernah sampai ke tangannya. “Saya mah enggak dapet PKH, enggak dapet kartu lansia, enggak dapet apa-apa. Udah didata juga, enggak dapet,” keluhnya. Hanya anak-anak di sana yang masih dapat bantuan KJP dari sekolah, termasuk cucunya.
Hidup di pemakaman kerap dibayangi komentar miring dari luar. Tapi bagi Imah, ini bukan soal nyaman atau enak. Ini soal bertahan. “Ya kalau punya rumah di kompleks, ya mendingan di kompleks. Tapi karena ekonomi sulit, ya mau gimana lagi. Terima di sini,” ujarnya lirih.
Artikel Terkait
Pelaku Penculikan Alvaro Kiano Akhirnya Diamankan Polisi
Setelah 21 Tahun Disiksa di Malaysia, Pekerja Migran Asal Temanggung Akhirnya Bebas
Kerangka Bocah di Pesanggrahan Diduga Alvaro, Satu Tersangka Diamankan
Nyaris Tabrak, Ricuh Berujung Tusukan di Tomohon