Pertemuan yang berlangsung enam jam itu disebut-sebut sebagai rapat koordinasi biasa. Tapi auranya? Jelas bukan biasa. Saking tegangnya, suasana itu bisa masuk bab darurat kalau dimasukkan ke kitab fikih.
Para PWNU yang hadir seolah ditimang-timang antara maslahah mursalah dan sadduz dzari'ah. Mau mendukung atau netral, semuanya ada konsekuensinya.
Di sisi lain, Syuriyah tak bergeming. Mereka bersikukuh keputusan 20 November tetap berlaku dan Gus Yahya harus mundur. Dari sudut pandang mereka, pertemuan Surabaya itu tak menyentuh illat persoalan sebenarnya, yaitu dugaan pelanggaran nilai dasar dan tata kelola organisasi.
Persis seperti dua fakih berbeda mazhab. Satu bicara soal legitimasi, satu lagi soal prosedur. Masing-masing punya dalil kuat, masing-masing yakin pada pendiriannya.
Dalam kerangka fikih NU, posisi Gus Yahya jelas jazm - tak berniat mundur. Posisi Syuriyah juga jazm - tetap minta mundur. Tak ada yang mau ruju', tak ada yang mau takhfif.
Akhirnya, yang tersisa adalah NU sebagai kitab tebal yang masih terus dibaca lembar demi lembar. Tanpa tanda-tanda bab penutup akan datang dalam waktu dekat.
Drama PBNU ini belum selesai di Surabaya. Masuklah kita ke bab berikutnya, yang pasti lebih panjang, lebih pelik, dan tentu lebih seru. Sebab dalam tradisi fikih NU, tak ada masalah besar yang selesai cepat. Semuanya butuh istinbath, musyawarah, kopi kental, dan kesabaran panjang seperti membaca kitab kuning tanpa harakat.
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
Artikel Terkait
Wastafel Berdarah dan Laporan yang Mengungkap Sisi Kelam Rumah Tangga Mawa
Gubernur Kalbar Suntik Semangat ke Pelaku UMKM di CFD Ahmad Yani
Menteri Arifah Bongkar Makna Baru Anak Telantar: Bukan Hanya Soal Fisik
Gaza Berduka, 24 Nyawa Melayang dalam Serangan Udara Israel