Suaranya? Seperti ribuan jarum kecil menghantam permukaan kota secara serentak. Denting-denting es itu menciptakan simfoni yang tidak terduga.
Di layar ponsel, suhu masih menunjukkan 24 derajat Celsius. Secara angka mungkin tidak terlalu dingin, tapi kombinasi angin dan hujan es membuat udara terasa menusuk tulang. Sementara itu, dari luar, suara hujan dan es yang mengguyur tak juga berhenti.
Pada akhirnya, media yang bertahan pun menyerah. Mereka membawa tas kamera, melipat tripod dengan tergesa, dan berhamburan masuk ke dalam gedung. Aroma khas tanah basah dan hawa dingin ikut serta, seolah membawa serta cerita tentang amukan alam yang baru saja terjadi.
Lalu, di puncak keriuhan itu, petir menyambar. Suaranya menggelegar, membelah langit Johannesburg. Getarannya terasa sampai ke dalam ruangan, membuat kamera yang masih menyala bergetar sendiri.
Jadi, begitulah sore itu. Di tengah agenda KTT G20 yang penuh dengan pembicaraan tingkat tinggi, alam memutuskan untuk ikut berbicara. Dengan caranya sendiri. Dan semua orang, mau tidak mau, harus mendengarkan.
Artikel Terkait
Vonis Mati 17 Warga Yaman: Mata-Mata Israel hingga AS Dibongkar
Pencarian Dua Korban Longsor Cilacap Berakhir dengan Tabur Bunga dan Keikhlasan
Prabowo dan Starmer Sepakati Kemitraan Strategis, Siapkan 10.000 Beasiswa untuk Indonesia
Gibran Soroti Ketahanan Pangan dan Resep Indonesia di Tengah Krisis Global