Persoalan ini pada akhirnya mengantar kita pada pertanyaan dasar: sebenarnya jabatan itu apa? Bagi seorang mukmin, jabatan bukan sekadar prestasi karier. Jabatan adalah amanah. Pemegang jabatan yang beriman mestinya sadar bahwa setiap tanda tangan, setiap keputusan, termasuk setiap klaim tentang riwayat hidupnya, akan dimintai pertanggungjawaban.
Kejujuran adalah jantung dari amanah. Tidak mungkin seseorang mengaku memegang amanah publik, namun riwayat hidupnya sendiri dibangun dengan data yang diragukan. Dalam konteks kejujuran, ada perintah yang sangat tegas. Kejujuran bukan sekadar sikap sosial, melainkan konsekuensi iman.
Pejabat yang memilih jujur sejak awal – termasuk jujur tentang ijazah, riwayat pendidikan, dan jejak karier – sesungguhnya sedang menyelamatkan dirinya sendiri. Mungkin ia harus menanggung malu sesaat jika ada kekurangan yang terungkap, namun ia selamat dari kehinaan panjang di hadapan Allah. Menyusun kebohongan demi mempertahankan jabatan ibarat menumpuk bara yang suatu saat akan menyala.
Moralitas Publik: Masyarakat, Media, dan Para "Pembela"
Fenomena ijazah ini bukan hanya ujian bagi pejabat. Ini juga ujian bagi moralitas publik. Masyarakat diuji: apakah akan ikut arus spekulasi tanpa tabayyun, atau mengawal kebenaran dengan sikap kritis namun bermartabat. Media diuji: apakah akan memilih jalur jurnalisme yang mencerdaskan, atau justru menikmati peran sebagai kompor yang meniup api sensasi.
Para "pembela" juga diuji: apakah membela karena kebenaran, atau sekadar demi kedekatan, kepentingan politik, dan bayaran. Ketika suatu isu muncul, sebagian orang langsung sibuk memastikan "di kubu mana ia berdiri", bukan sibuk memastikan "di pihak mana kebenaran berdiri". Pembelahan seperti ini jelas merusak nalar sehat.
Budaya buzzer dan pasukan siber yang mengaburkan fakta demi menjaga citra tokoh adalah bagian dari penyakit moral kolektif. Mereka membantu menyembunyikan kebohongan, lalu menuduh publik tidak adil ketika kebohongan itu disorot. Tugas moral setiap orang beriman sesungguhnya membela yang benar, bukan membela yang kebetulan satu barisan.
Para penjilat kekuasaan – yang memakai lisan untuk menutupi kebohongan demi kepentingan diri – berdiri di sisi yang berlawanan dengan prinsip kebenaran. Mereka bukan sedang menolong dalam kebajikan, tetapi bersekutu dalam dosa dan permusuhan terhadap kebenaran.
Publik yang dewasa seharusnya memberikan apresiasi pada keterbukaan, meskipun hasilnya pahit bagi tokoh yang disukai. Masyarakat yang sehat mendukung pejabat yang berani berkata, "silakan periksa saya", dan mengkritik pejabat yang hanya pandai berkelit.
Pelajaran bagi Pemimpin dan Calon Pemimpin
Dari fenomena ini, ada beberapa pelajaran berharga bagi siapa pun yang sedang atau kelak akan memegang amanah kepemimpinan.
Pelajaran pertama menyentuh riwayat hidup. Riwayat pendidikan, riwayat karier, dan setiap dokumen yang menyertainya akan menjadi jejak yang bisa ditelusuri sewaktu-waktu. Memoles riwayat dengan kebohongan mungkin tampak menguntungkan sesaat, tetapi sangat berisiko ketika diuji.
Pelajaran kedua: integritas lebih mahal dari jabatan. Jabatan bisa berakhir kapan saja. Integritas akan menyertai sampai liang kubur. Pemimpin yang jujur mungkin tidak selalu disukai semua orang, tetapi dihormati oleh orang-orang yang hatinya masih sehat.
Pelajaran berikutnya berkaitan dengan cara menghadapi tuduhan. Cara menghadapi tuduhan adalah ujian kualitas jiwa. Begitu tuduhan menyangkut fakta objektif, langkah paling terhormat adalah membuka data dan bersedia diaudit. Keberanian seperti ini jauh lebih bernilai daripada kemenangan dalam perang narasi.
Pelajaran terakhir: mengakui kekurangan lebih terhormat daripada merawat kebohongan. Jika memang ada kesalahan dalam dokumen, pengakuan jujur jauh lebih terhormat daripada memaksa banyak orang terlibat menutupinya. Kebenaran yang diakui memberi kesempatan untuk memperbaiki. Kebohongan yang dipertahankan hanya memperpanjang usia kehinaan.
Menjaga Ijazah Hati
Pada akhirnya, persoalan ijazah hanya pintu masuk. Di balik itu, ada pertanyaan yang jauh lebih berat: bagaimana ijazah hati kita di hadapan Allah?
Ijazah di dunia bisa saja diperdebatkan. Ada cap, tanda tangan, dan legalisasi yang bisa diklaim atau dibantah. Tapi ijazah hati tercatat di sisi Allah tanpa manipulasi. Ijazah hati memuat nilai kejujuran, keberanian, dan kesediaan memikul amanah dengan takut kepada-Nya.
Perbedaan pendapat dalam menilai kasus-kasus yang bergulir mungkin tidak terhindarkan. Tapi ada satu standar yang semestinya tidak berubah: pejabat publik yang beriman seharusnya lebih takut pada hisab Allah daripada pada kegaduhan politik. Keterbukaan, kejujuran, dan keberanian menjernihkan tuduhan bukan hanya urusan reputasi, melainkan urusan keselamatan akhirat.
Semoga para pemegang amanah di negeri ini diberi kekuatan untuk memilih jalan yang jujur, meskipun berat. Semoga masyarakat pun diberi kecerdasan untuk berpihak kepada kebenaran, bukan sekadar kepada figur. Pada hari ketika semua dokumen dunia sudah tidak berlaku, satu-satunya yang menyelamatkan hanyalah catatan amal dan kejujuran yang benar-benar dijaga.
Wallahualam bishawab
Artikel Terkait
Mantan Bos ASDP Divonis 4,5 Tahun Bui, Hakim Ketua Sampaikan Pendapat Berseberangan
Serangan Udara Israel Guncang Kamp Pengungsi di Lebanon Selatan, 13 Tewas
Angin Kencang di Jak Timur, Pohon Beringin Tumbang Timpa Tiga Mobil
Defisit APBN Tembus Rp 497 Triliun, Purbaya: Masih Jauh Lebih Rendah dari Target