Ketika Dokumen Menjadi Cermin Hati
Republik ini kembali dihadapkan pada fenomena yang tak asing: perdebatan nasional soal keaslian ijazah. Padahal mestinya dokumen ini bersifat teknis dan administratif belaka. Tapi lihatlah, ia justru menjelma menjadi panggung ujian moral dan integritas. Yang diperdebatkan bukan cuma soal "asli atau palsu", tapi sudah menjalar ke wilayah yang lebih dalam: seberapa jujur seorang pejabat dengan perjalanan hidupnya sendiri.
Nah, tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mengadili siapa pun. Fokus kita justru pada sikap ketika dokumen itu dipersoalkan. Cara seseorang merespons tuduhan sering kali jauh lebih jujur ketimbang pernyataan yang keluar dari mulutnya.
Di balik hiruk-pikuk isu ijazah ini, sebenarnya masyarakat sedang diajak melihat dua hal sekaligus. Pertama, kualitas kejujuran personal seorang pejabat. Kedua, keberanian moral untuk menjernihkan keadaan demi menjaga marwah jabatan dan lembaga. Dua hal inilah yang pada akhirnya akan menyelamatkan seseorang, bukan cuma di lautan opini publik, tapi juga kelak di hadapan Allah.
Al-Qur'an sendiri sudah mengingatkan agar kita tidak bermain-main dengan kebenaran. Setiap manipulasi dokumen publik pada hakikatnya bukan sekadar pelanggaran administratif. Lebih dari itu, perbuatan itu termasuk bentuk mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan.
Ijazah, Reputasi, dan Ruang Publik
Belakangan kita menyaksikan lebih dari satu kasus pejabat tinggi yang disorot karena persoalan ijazah. Ada yang menjabat di posisi strategis dalam penegakan konstitusi, ada pula yang memegang otoritas politik. Ironisnya, keduanya menghadapi kecurigaan yang sama: keaslian riwayat pendidikan.
Dampaknya ternyata tidak sederhana. Tuduhan terhadap satu orang dengan cepat merembet ke lembaga yang diwakilinya. Kredibilitas pribadi tiba-tiba berkelindan dengan kredibilitas institusi. Di era keterbukaan informasi dan media sosial seperti sekarang, isu semacam ini menjadi santapan empuk. Spekulasi liar tumbuh subur, potongan informasi berseliweran tanpa verifikasi memadai, sementara opini publik dipaksa memilih kubu, sering kali tanpa cukup data.
Alhasil, ruang publik tidak lagi sekadar menjadi arena klarifikasi. Ia telah berubah menjadi medan uji kejujuran. Cara pejabat menjawab, mengelak, membuka, atau menutup fakta, menjadi pelajaran tersendiri bagi masyarakat yang menyaksikan.
Di sisi lain, masyarakat pun sebenarnya sedang diuji. Diuji apakah mampu menjaga akhlak berpikir. Ruang publik seharusnya menjadi ruang tabayyun, bukan arena komporisasi. Pejabat yang jujur dituntut membuka fakta, sementara masyarakat dan media dituntut menjaga kehormatan tabayyun sebelum menghakimi.
Dua Cara Menyikapi Tuduhan: Keterbukaan versus Manuver
Sikap keterbukaan dan klarifikasi
Dalam salah satu kasus, seorang pejabat tinggi yang dituduh memiliki ijazah palsu memilih langkah yang relatif sederhana namun berani. Ia mengundang publik, mengadakan jumpa pers, lalu menghadirkan dokumen-dokumen pendukung lengkap: ijazah, transkrip, bukti riwayat kuliah, serta penjelasan kronologi yang bisa diperiksa.
Memang, langkah seperti ini tidak otomatis memuaskan semua pihak. Selalu ada yang tetap ragu. Tapi sikap terbuka tersebut memberi pesan yang jelas: "Saya tidak bersembunyi. Ini data saya, silakan diuji." Spekulasi liar pun berkurang, ruang manuver pihak-pihak yang hendak "menggoreng" isu juga menyempit. Publik melihat contoh pejabat yang setidaknya berani menghadapkan dirinya pada fakta.
Keterbukaan seperti ini bukan sekadar strategi komunikasi biasa. Ada nilai moral di dalamnya. Pejabat tersebut pada dasarnya sedang menyampaikan: integritas bukan dibangun dari kata-kata manis, melainkan dari kesediaan untuk diaudit, diperiksa, bahkan dikritik. Sikap seperti ini selaras dengan perintah Allah agar kita berlaku adil, sekalipun terhadap diri sendiri.
Sikap berbelit dan mengulur
Namun begitu, masyarakat juga menyaksikan pola respons yang berbeda. Tuduhan serupa muncul, tapi respons yang ditunjukkan justru berputar-putar. Jawaban bergeser dari satu isu ke isu lain, pernyataan berubah-ubah, data tidak segera dibuka, dan berbagai pihak dikerahkan untuk "membela" tanpa menghadirkan bukti yang betul-betul menjernihkan.
Situasi seperti ini menimbulkan kesan kuat bahwa ada sesuatu yang sedang ditutup-tutupi. Publik dipaksa menebak-nebak, sementara ruang diskursus penuh dengan manuver, bukan klarifikasi. Para pembela berbicara lantang, tapi substansi tetap kabur. Pada akhirnya publik tidak hanya mempertanyakan keaslian ijazah, tetapi juga mempertanyakan kejujuran hati mereka yang terlibat membela.
Sikap seperti ini jelas merugikan banyak pihak. Pejabat yang bersangkutan kehilangan kesempatan emas untuk memulihkan martabatnya melalui keterbukaan. Lembaga yang ia wakili dipersepsikan ikut "main mata". Masyarakat pun mendapat pesan keliru bahwa di level tertentu kekuasaan, kebohongan bisa dinegosiasikan, asalkan ada cukup banyak suara yang membela.
Pola semacam ini sangat dekat dengan gambaran Al-Qur'an tentang kemunafikan: manis di lisan, tetapi rapuh di batin. Kata-kata yang rapi dan berputar tanpa keberanian membuka fakta adalah ciri lisan yang kehilangan kejujuran. Bagi orang beriman, cara menghadapi tuduhan adalah cermin sejati keadaan batin.
Artikel Terkait
Mantan Bos ASDP Divonis 4,5 Tahun Bui, Hakim Ketua Sampaikan Pendapat Berseberangan
Serangan Udara Israel Guncang Kamp Pengungsi di Lebanon Selatan, 13 Tewas
Angin Kencang di Jak Timur, Pohon Beringin Tumbang Timpa Tiga Mobil
Defisit APBN Tembus Rp 497 Triliun, Purbaya: Masih Jauh Lebih Rendah dari Target