Menurutnya, hal ini terutama akan terjadi jika kenaikan upah tidak diimbangi dengan lompatan produktivitas dan efisiensi teknologi.
Namun begitu, bukan berarti kebijakan ini tak membawa sisi baik. Ada potensi positif yang patut dipertimbangkan. Kenaikan upah berpeluang mendongkrak daya beli para pekerja. Dengan uang lebih di tangan, permintaan domestik bisa terdorong.
Masalahnya, efek positif semacam ini sifatnya bertahap dan tidak langsung. Sementara itu, dampak kenaikan biaya produksi dirasakan pelaku industri dengan cepat dan nyaris instan. Akibatnya, dalam jangka pendek, efek bersihnya terhadap pertumbuhan sektor ini berpotensi moderat, bahkan cenderung menahan laju. Risiko ini terutama mengintai subsektor yang berorientasi ekspor dan harus berhadapan dengan persaingan global yang sangat ketat.
Pada intinya, PP 49 Tahun 2025 seolah menempatkan pemerintah dan industri di depan sebuah pilihan. Ada trade-off antara tujuan mulia melindungi pendapatan pekerja dan keinginan untuk memacu pertumbuhan industri pengolahan nonmigas.
Saleh Husin menegaskan perlunya langkah pendukung yang kuat.
"Tanpa kebijakan pendukung yang kuat, seperti peningkatan produktivitas tenaga kerja, insentif investasi industri, dan penguatan rantai pasok domestik, pertumbuhan sektor industri nonmigas ke depan berisiko bergerak lebih lambat dibandingkan potensinya," pungkasnya.
Jadi, jalan tengahnya ada di sana. Perlindungan pekerja penting, tapi percepatan pertumbuhan industri juga tak kalah krusial. Tantangannya sekarang adalah bagaimana menyeimbangkan keduanya.
Artikel Terkait
Saham Tekologi AI Selamatkan Wall Street dari Tekanan Pekan Ini
KRYA Amankan Kontrak Rp240 Miliar untuk Pasok 10.000 Motor Listrik
Lebih dari Seribu Relawan BUMN Bergerak, Bantuan Masif Dikirim ke Aceh
Pemerintah Siapkan Stok Energi Darurat di Titik Rawan Bencana Jelang Nataru