Akibatnya, laba sebelum pajak terkoreksi 39,1%. Laba bersih pun ikut terperosok 45,4% menjadi USD 587 juta. Margin laba bersih pun menyempit, dari yang sebelumnya 26,5% kini tinggal 16,3%.
Lalu, prospek ke depan bagaimana?
Phintraco Sekuritas dalam risetnya, Kamis (4/12), punya pandangan yang realistis. Mereka memperkirakan harga batu bara acuan global akan tetap tertekan di bawah level USD 110 per ton. Permintaan dari China dan India mungkin masih kuat, tapi itu tak cukup. Ada beberapa awan hitam di horizon: suplai dari produsen utama yang makin deras, tren penurunan konsumsi di negara maju, dan harga gas alam yang mulai normal.
China, pasar terbesar, diproyeksi akan memangkas impornya. Itu berita buruk untuk ekspor AADI, terutama dari sisi harga jual.
Meski memproyeksikan pendapatan AADI sepanjang 2025 turun 3,8%, Phintraco menilai perusahaan masih berada di jalur yang sesuai. Mereka mempertahankan rekomendasi "Buy" dengan nilai wajar Rp 10.200 per saham. Argumennya, saham AADI kini diperdagangkan pada PBV 1,03x lebih murah dari rata-rata setahunnya di 1,08x. Artinya, masih ada ruang untuk menguat jika harga batu bara membaik atau efisiensi produksi berjalan lebih baik lagi.
Jadi, meski kinerja tertekan, sejumlah analis masih melihat secercah potensi di balik awan kelabu pasar komoditas ini.
Artikel Terkait
IHSG Tembus Rekor Baru di Level 8.704, Sektor Properti Jadi Penopang Utama
IHSG Tembus Rekor Baru, Sentuh 8.700 untuk Pertama Kalinya
IHSG Pecahkan Rekor, Sentak Level 8.700 untuk Pertama Kalinya
ASSA Pacu Ekspansi, Belanja Armada Tembus Rp1 Triliun di 2025