Di Hall Bursa Efek Indonesia, suasana tampak khidmat Jumat lalu. Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh bisnis menerima penghargaan Investing On Climate 2025. Acara yang digelar para editor ekonomi dan lingkungan ini memang punya misi jelas: mengapresiasi seriusnya mereka yang berinvestasi untuk iklim.
Nama-nama besar ada di sana, lintas sektor. Dari perbankan sampai energi. Di antara para tokoh yang dihormati, hadir Utusan Khusus Presiden untuk Energi dan Iklim, Hashim Djojohadikusumo, serta Gubernur Jawa Barat Dedy Mulyadi.
Managing Director Investing on Climate, Umar Idris, menjelaskan maksud dari pemberian penghargaan ini.
“Penghargaan ini diberikan kepada pelaku usaha dan tokoh yang memiliki perhatian dan telah berkontribusi nyata mencegah perubahan iklim, menurunkan emisi gas rumah kaca,” katanya dalam keterangan tertulis, Jumat (5/12).
Umar tak menampik bahwa krisis iklim di Indonesia sudah jadi kenyataan pahit. Menjelang akhir 2025 ini, cuaca ekstrem makin sering dan makin keras. Banjir, tanah longsor, pola hujan yang sulit ditebak, gelombang panas, hingga air laut yang naik semuanya kini jadi ancaman sehari-hari, dari desa sampai kota.
Data BMKG pada Oktober 2025 mencatat suhu udara rata-rata nasional mencapai 27,29 derajat celsius. Angka itu naik 0,33 derajat dari normalnya. Lonjakan kecil? Mungkin. Tapi dampaknya besar. Bencana hidrometeorologis ikut meroket. Di Sumatera, curah hujan ekstrem bisa menyamai satu bulan hujan hanya dalam satu hari. Banjir besar pun tak terelakkan, memicu kerugian ekonomi yang luar biasa dan diperparah oleh krisis ekologi yang sudah menahun.
Kini, kawasan pesisir, dataran rendah, hingga perkotaan kian rentan. Rumah-rumah rusak, lahan pertanian produktif menyusut, infrastruktur dasar terganggu. Semua itu langsung mengancam hidup banyak orang. Situasi ini merongrong keamanan pangan, memperbesar risiko bencana berulang, dan berpotensi memicu gejolak sosial kalau tidak segera ditangani dengan strategi mitigasi dan adaptasi yang terpadu.
Dunia usaha pun tak kebal. Disrupsi rantai pasok, hambatan distribusi, dan gangguan produksi makin kerap terjadi. Hal itu mengancam kelangsungan operasional dan melemahkan daya saing di tengah ekonomi global yang kini mulai bergerak dengan standar rendah karbon.
Di sisi lain, situasi ini justru menegaskan betapa mendesaknya investasi pada solusi iklim. Transisi ke energi bersih harus dipercepat. Ekosistem perlu dilindungi, infrastruktur harus diperkuat agar tahan iklim, dan model bisnis berkelanjutan wajib jadi prioritas nasional. Langkah-langkah ini bukan cuma untuk menyelamatkan lingkungan, tapi juga menjadi fondasi ketahanan ekonomi Indonesia ke depan.
Menurut Umar, masa depan akan semakin diwarnai oleh keberlanjutan. Masyarakat akan makin selektif, memilih produk dan perusahaan yang ramah lingkungan. Nah, transisi menuju ekonomi rendah emisi ini justru bisa jadi motor pertumbuhan baru. Ia bisa membuka peluang bisnis, menciptakan lapangan kerja, dan menghidupkan perekonomian dengan cara yang lebih inklusif.
“Indonesia membutuhkan investasi iklim yang bertanggung jawab dan berkelanjutan di tengah tren dunia untuk melindungi ekologi sekaligus menciptakan peluang ekonomi baru yang turut memperbaiki taraf hidup masyarakat,” tegas Umar Idris.
Sebagai pembicara kunci, Hashim Djojohadikusumo menegaskan komitmen Indonesia untuk memimpin upaya penanggulangan perubahan iklim global.
Artikel Terkait
Potensi Triliunan Rupiah di Sektor Olahraga Terkunci, Kemenkeu Soroti Kontribusi Baru 0,2% PDB
HIPMI Jaya Bentuk Badan Khusus untuk Pacu Pengusaha Muda Masuk Bursa
Tim Pertamina Antar Warga yang Hilang Kontak Usai Banjir Bandang Aceh
LPS Siap Jamin Polis Asuransi, Premi Diprediksi Bakal Melonjak