Di sinilah menariknya. Sistem yang memanen energi manusia justru paling efektif di lokasi padat penduduk. Semakin ramai, semakin besar potensi energinya. Ini seperti membalik anggapan umum bahwa kepadatan selalu merugikan.
Ditambah lagi dengan teknologi sensor dan IoT, sistem ini bisa beradaptasi. Ia bisa membaca pola keramaian, tahu kapan jam sibuk, atau saat ada acara besar. Kota bukan lagi tempat pasif, tapi entitas yang bisa "merasakan" denyut warganya.
Pelengkap yang Berarti
Jelas, ini bukan solusi ajaib pengganti pembangkit listrik konvensional. Perannya lebih sebagai penyokong. Tapi kontribusinya nyata. Sedikit demi sedikit, beban pada jaringan listrik utama bisa diringankan.
Dan ada nilai lain yang mungkin lebih penting: peningkatan kesadaran. Saat orang paham bahwa langkah kakinya bisa menghidupkan sebuah lampu, hubungan mereka dengan energi menjadi lebih personal dan langsung.
Masa Depan Energi Ternyata Sangat Dekat
Jadi, energi terbarukan tak melulu soal mengeksploitasi alam. Ia bisa hadir dari aktivitas manusia yang paling biasa. Potensi besar itu seringkali terlewat karena kita tak melihatnya dengan cara yang tepat.
Ke depan, bukan tidak mungkin kita tak lagi sekadar pengguna energi. Kita akan menjadi bagian integral dari sistem energi itu sendiri. Sebuah konsep yang sederhana, tapi revolusioner.
Artikel Terkait
100 Operasi Lutut Robotik di Gatam Institute Catat Rekor Nol Infeksi
AI Berdikari: Perlombaan Diam-Diam Negara-Negara di Era Kecerdasan Buatan
Pintu Investasi AI Dibuka Lebar, Indonesia Siap Cetak 100 Ribu Talenta Setahun
Mengapa Pelaku Selingkuh Sering Tak Merasa Bersalah? Ini Kata Psikologi