Kata-kata itu diucapkan Siti (38), warga Desa Alur Cucur, dengan nada lega yang terdengar jelas. Isolasi akibat putusnya aliran listrik dan jaringan komunikasi memang terasa sangat mencekam, terutama saat malam tiba.
Mereka datang dari enam desa sekitarnya: Alur Batu, Alur Cucur, Alur Manis, Landu, Tempel, dan Lumpuran. Ada yang berjalan kaki, ada yang naik motor berboncengan. Sebagian bahkan membawa anak-anak, duduk menunggu di pinggir area, ditemani cahaya lampu yang perlahan-lahan kembali menyala.
“Kalau malam gelap sekali. Anak-anak takut. Lampu emergency ini sangat membantu,”
Ucap Rahmad, warga Desa Alur Manis, sambil menggenggam erat lampu daruratnya yang baru terisi penuh. Bantuan yang diberikan Pertamina Drilling ternyata tak cuma stop kontak. Mereka juga menyalurkan bantuan kemanusiaan berupa makanan siap santap dua kali sehari, sembako, air bersih, dan air minum kemasan bagi warga yang terdampak.
“Dalam kondisi seperti ini, bantuan makanan dan air sangat berarti. Setidaknya kami tidak merasa sendirian,” tutur Yuliana, warga Desa Landu.
Jadi, dalam kesunyian dan kegelapan pasca-banjir bandang, Rig PDSI19.1 bertransformasi. Ia bukan lagi sekadar instalasi industri. Ia menjadi ruang singgah yang hangat, tempat warga mengisi daya perangkat mereka, berbagi cerita, dan saling menguatkan. Sebuah titik terang, dalam arti yang sesungguhnya.
Artikel Terkait
Arus Mudik Lebat, Angka Kecelakaan Operasi Lilin 2025 Justru Anjlok Drastis
Eksodus Warga Jakarta Dimulai, 34 Ribu Tiket Kereta Ludes di Hari Pertama Libur
Menkeu Purbaya Anggap Proyeksi Defisit Bank Dunia Sering Meleset
Siap Siaga Nataru 2026, Polri Waspadai Ancaman Banjir dan Longsor