Ia mendorong pintu dengan moncongnya. Engsel berderit pelan, tapi gemuruh hujan menutupi suaranya. Satu langkah, lalu dua. Udara luar yang dingin dan basah menyergapnya, membawa aroma tanah dan kebebasan. Ia berlari. Bulunya basah, kakinya gemetar, tapi untuk pertama kalinya dalam lama, ia tak mencium bau obat atau darah. Ia mencium hidup.
Di kejauhan, lolongan panjang terdengar. Sebuah pertanda bahwa ia tidak sendirian.
Beberapa waktu kemudian, di sebuah jalan sepi selepas hujan, seekor anjing kurus dan kotor muncul dari balik tembok. Matanya liar, penuh ketakutan. Setiap langkahnya hati-hati.
Kebetulan, seorang lelaki tua berjalan tertatih. Di tangannya ada kantong plastik berisi roti murah. Wajahnya lelah, penuh kerutan. Saat melihat si anjing, ia berhenti. Lelaki itu malah berjongkok, mengulurkan sepotong roti.
"Lapar, ya?" bisiknya hampir tak terdengar.
Anjing itu mendekat dengan ragu. Ia mengambil roti itu, memakannya perlahan di hadapan lelaki asing yang baik hati itu. Lelaki itu tersenyum kecil.
"Kamu butuh nama," gumamnya kemudian. Ia berpikir sejenak. "Anna. Aku akan memanggilmu Anna."
Sejak malam itu, mereka hidup bersama. Anna tidur di tikar lusuh di sudut rumah reyot tuannya. Tapi baginya, itu istana. Ada belaian lembut, panggilan sayang setiap pagi, dan kehadiran yang menenangkan. Di sore hari, mereka sering duduk di beranda, menatap senja.
"Aku ini tentara, Anna. Kadang dipanggil, kadang dilupakan. Tapi kamu... kamu takkan pergi, 'kan?"
Anna mengibaskan ekornya. Luka di hatinya perlahan sembuh.
Namun, ketenangan itu tak abadi. Suatu pagi, surat resmi datang. Lelaki itu membacanya, wajahnya langsung muram. Ia dipanggil tugas, ke garis depan.
Dengan berat hati, ia menitipkan Anna ke tetangga. "Tolong jaga dia. Aku mungkin lama."
Ia berjongkok terakhir kali di depan Anna. "Aku pergi sebentar. Tunggu aku pulang."
Anna menjilat tangannya, percaya sepenuhnya.
Minggu-minggu berlalu. Anna menunggu di halaman tetangga, dirantai, diperlakukan dengan kasar. Rindunya membuncah. Suatu malam, ia menggigit talinya hingga putus dan kabur. Ia berlari, mengikuti naluri dan ingatan akan bau tuannya.
Pencariannya berlangsung berminggu-minggu. Ia mengarungi jalanan, hutan, dan sungai. Tubuhnya makin kurus, tapi hatinya hanya punya satu tujuan: menemukan majikannya.
Sampai akhirnya, ia tiba di sebuah pemakaman sepi. Angin membawa aroma bunga layu. Langkahnya terhenti di depan sebuah gundukan tanah baru. Di atasnya, ada helm tentara dan secarik kain lusuh yang sangat ia kenal. Kain yang selalu dipakai lelaki itu di pergelangannya.
Anna mengendus-endus tanah itu. Ia tahu. Di sinilah tuannya beristirahat.
Sejak saat itu, ia tak pernah pergi. Ia berbaring di samping nisan itu, menolak makanan, menolak segalanya. Cahaya di matanya perlahan padam. Pada malam ketiga, tubuhnya tak lagi bergerak. Anna pergi, menyusul sang majikan, di tempat yang ia yakini sebagai rumah terakhirnya.
Kini, yang tersisa cuma kisah tentang kesetiaan yang melampaui segalanya. Di pemakaman itu, kadang angin malam berbisik, seolah membawa janji yang tak pernah terucap, namun tak pernah pula dilupakan.
Artikel Terkait
Inara Rusli Dipanggil Polisi, Balas Lapor Suami Mawa dengan Tuduhan Penipuan
Miley Jadi Pahlawan, City Lumat Brentford: Dua Tiket Semifinal Piala Liga Inggris Terisi
BYD Atto 1 Pertahankan Takhta, Geser Avanza dan Brio di Puncak Penjualan
Lokomotif Manahan Mogok, Commuter Line Cikarang Tersendat di Bekasi