Dari sekian banyak kenangan, ada satu yang ia kenang baik. Sekitar tahun 2010, saat masih di pantai, sering ada wisatawan asing mampir beli rokok dan duduk menikmati pemandangan.
Tantangan terbesarnya jelas: minimnya pembeli. Bahkan saat musim liburan akhir tahun, ketika pantai dipadati orang, warungnya tetap sepi. Tapi Ibu Sikar memilih bertahan. Alasannya sederhana, sekaligus berat.
Kisah relokasi enam tahun lalu memang meninggalkan bekas. Pembagian kios waktu itu lewat sistem undian di Pondok Seni. Para pedagang dikumpulkan, lalu mengambil gulungan kertas bertulis nomor dari sebuah toples. Nomor itu menentukan nasib mereka: apakah dapat kios di Nanjung Asri, Nanjung Sari, atau Nanjung Elok.
Dari ketiganya, Nanjung Sari punya kios paling banyak. Ironisnya, sekarang justru jadi yang paling terbengkalai. Lokasinya kurang strategis, daya tariknya pun hilang.
Yang membuat Ibu Sikar sedih, kondisi pasar ini makin tak terurus. Atap bocor dibiarkan. Lantai retak dan berdebu. Kios-kios telantar. Ia pun bertanya-tanya,
Di antara lorong kosong dan lantai yang menua, kehadiran Ibu Sikar adalah penanda bahwa denyut pasar ini belum benar-benar berhenti. Ketabahannya menghadirkan cerita lain: bahwa di balik tempat-tempat yang terlupakan, selalu ada manusia yang berjuang untuk tetap hidup. Selama ia masih duduk di bangku kecilnya, menyapa siapa pun yang lewat, Pasar Nanjung Sari masih punya alasan untuk tidak sepenuhnya hilang dari ingatan Pangandaran.
Artikel Terkait
BYD Siapkan Lembaga Pembiayaan Sendiri untuk Dongkrak Pasar Mobil Listrik
Fadli Zon Luncurkan Buku Sejarah Kontroversial, PDIP Desak Dihentikan
Thailand Siapkan Gebrakan Baru: Disneyland Gantikan Rencana Kompleks Kasino
Malut United Hajar Persib, Maung Bandung Terseok di Ternate