Udara di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Rabu (26/11) itu cukup panas. Tapi mungkin tidak lebih panas dari amarah Irma Suryani Chaniago. Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi NasDem ini mendesak Kementerian Kesehatan untuk segera bertindak. Ia menuntut audit publik dan sanksi tegas bagi rumah sakit yang dengan entengnya menolak pasien hanya karena alasan administrasi.
Desakan ini bukan datang tiba-tiba. Ini adalah respons langsung atas sebuah tragedi memilukan di Papua. Seorang ibu hamil, Irene Sokoy, beserta bayi dalam kandungannya, meninggal dunia setelah ditolak oleh empat rumah sakit berbeda. Kasus ini, bagi Irma, sudah melampaui batas.
“Yang pertama audit publik dulu, audit kepada rumah sakit,” tegas Irma.
“Yang kedua, rumah sakit ini juga harus diberikan punishment. Soal punishment-nya seperti apa kita serahkan kepada Kementerian Kesehatan. Karena mereka yang paham.”
Menariknya, Irma mengklaim dirinya sudah lebih dulu bergerak. Jauh sebelum Presiden Prabowo Subianto memberi perhatian khusus pada kasus ini, ia sudah melaporkannya langsung ke Kemenkes.
“Pertama, ketika saya mendapatkan informasi dari aktivis Papua terkait masalah ini, saya sudah langsung menyampaikan kepada Pak Menteri Kesehatan melalui Irjen, dan Irjen sudah menanggapi akan melakukan sidak khusus ke Papua,” ujarnya, menjelaskan langkah awalnya.
Bagi politikus NasDem ini, alasan administrasi seperti tidak adanya kartu BPJS sama sekali bukan pembenaran. Konstitusi kita, menurutnya, sudah jelas menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan perawatan kesehatan.
“Sebetulnya kan di UUD kita sudah jelas ya bahwa hak hidup, hak mendapatkan perawatan kesehatan dari pemerintah, dari negara itu sudah jelas di konstitusi kita,” tegasnya lagi.
Ia lantas menyinggung soal anggaran. Negara sudah mengalokasikan dana yang tidak sedikit 20 persen dari APBN untuk sektor kesehatan. Dengan besarnya anggaran itu, menurut Irma, rumah sakit sama sekali tidak punya alasan untuk menolak rakyat, terutama mereka yang tidak mampu.
“Bahkan pemerintah dan DPR sudah menganggarkan 20 persen dari APBN untuk kesehatan. Artinya nggak ada yang boleh rumah sakit menolak rakyat Indonesia untuk berobat,” kata Irma dengan nada tinggi.
“Ada atau tidak ada kartu BPJS, mereka harus tetap dilayani, mereka harus tetap difasilitasi, nggak boleh ditolak. Jadi ini sudah kebangetan nih,” lanjutnya, tak bisa menyembunyikan kegeramannya.
Di sisi lain, ia menekankan peran Pemerintah Daerah. Pemda dinilainya punya peran vital untuk memastikan layanan kesehatan bisa diakses hanya dengan menunjukkan KTP, terutama bagi masyarakat miskin.
“Hanya dengan KTP, saya ingatkan kembali, untuk bisa berobat di rumah sakit mana pun. Dan harusnya rumah sakit tidak hanya bicara soal untung, tapi mana nilai-nilai kemanusiaannya. Dan ini yang harus diaudit langsung oleh Kementerian Kesehatan,” tuturnya.
Artikel Terkait
Badrodin Haiti Buka Suara soal Eks Polisi yang Bekerja di Korporasi Swasta
Tiga Film Horor yang Sukses Cetak Untung di Tengah Dominasi Laga dan Animasi
Sheila Marcia Buka Kisah di Balik Pola Asuh Baru yang Lebih Melindungi
Sjafrie Tinjau Batalyon di Kalimantan, Fokus pada Pembangunan Teritorial