MURIANETWORK.COM - Pernyataan mengejutkan datang dari Silfester Matutina, loyalis garis keras mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang secara terbuka menyebut Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, sebagai sosok yang “konyol, tidak negarawan, tidak mengerti hukum, dan sok tahu.”
Ucapan itu merespons pernyataan Megawati yang diduga menyentil keabsahan ijazah Jokowi dan menyindir pentingnya transparansi pejabat publik dalam menunjukkan latar belakang pendidikan mereka.
Pernyataan keras Silfester ini memicu gelombang reaksi luas di jagat politik nasional dan menandai salah satu titik terendah dalam hubungan Megawati dan Jokowi, yang selama ini digambarkan sebagai hubungan “ibu dan anak politik.”
Isu soal ijazah Presiden Jokowi bukanlah hal baru.
Sejak masa kampanye pemilu presiden 2014, berbagai kelompok telah menuduh bahwa Jokowi tidak benar-benar menyelesaikan pendidikan seperti yang tertera dalam dokumen resminya.
Isu ini sempat reda, namun belakangan mencuat kembali setelah pernyataan Megawati dalam sebuah forum internal PDIP yang menyiratkan perlunya “pemimpin nasional menunjukkan kejujuran intelektual, termasuk soal pendidikan.”
Meskipun Megawati tidak secara eksplisit menyebut nama, banyak pihak menafsirkan bahwa pernyataan itu diarahkan kepada Presiden Jokowi, apalagi mengingat hubungan yang memburuk antara keduanya pasca Pilpres 2024, di mana Jokowi dan Gibran dinilai mengambil jalur politik berbeda dari PDIP.
Sebagai salah satu loyalis utama Presiden Jokowi, Silfester Matutina tak tinggal diam.
Dalam sebuah forum yang diunggah di media sosial dan dikutip berbagai media online, Silfester secara terbuka menyebut Megawati sebagai sosok yang “tidak mengerti hukum dan bertingkah seolah paling tahu segalanya.”
“Meminta seorang Presiden menunjukkan ijazah ke publik itu tindakan konyol, tidak beradab dalam sistem hukum kita. Negara punya lembaga verifikasi, bukan Megawati!” tegas Silfester.
Ia juga menuduh Megawati tidak paham bagaimana sistem negara bekerja, dan menyebut bahwa pernyataan seperti itu justru merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara.
“Kalau Megawati curiga, silakan tempuh jalur hukum, bukan melempar tuduhan ke publik seolah-olah dia di atas segalanya,” ujarnya lagi.
Konflik terbuka ini menandai keretakan serius dalam poros nasionalis yang selama ini menjadi kekuatan utama dalam peta politik Indonesia.
Relasi Megawati dan Jokowi telah lama digambarkan sebagai dinamis, namun tetap dalam koridor saling menghormati.
Megawati pernah menyebut Jokowi sebagai “petugas partai,” yang banyak dikritik namun juga menunjukkan dominasi politik PDIP saat itu.
Namun, sejak Jokowi dan anaknya Gibran Rakabuming Raka mengambil posisi politik yang menjauh dari PDIP — termasuk merapat ke Prabowo Subianto dan Gerindra — hubungan keduanya memburuk secara signifikan.
Dalam Pemilu 2024, PDIP bahkan tidak lagi sepenuhnya mengklaim Jokowi sebagai simbol utama, dan memilih Ganjar Pranowo sebagai capresnya.
Pertikaian ini bukan hanya persoalan personal antara dua tokoh besar, melainkan punya dampak sistemik terhadap arah politik nasional.
Pertama, retaknya hubungan antara Jokowi dan Megawati bisa berdampak langsung terhadap stabilitas koalisi pendukung pemerintahan dan terhadap Pilkada 2024 di berbagai daerah.
Kedua, pernyataan Silfester bisa membuka babak baru dalam relasi elite, di mana mantan presiden (Megawati) dan Jokowi tak lagi berselimut harmoni simbolik, tetapi bertarung dalam wilayah publik tanpa kompromi.
Ketiga, publik kembali disuguhi realitas bahwa urusan legitimasi politik bisa diserang dari hal-hal mendasar seperti ijazah.
Di tengah isu ekonomi, kesejahteraan, dan geopolitik, retorika semacam ini bisa memperkeruh demokrasi substansial.
Apa yang terjadi antara Megawati dan loyalis Jokowi seperti Silfester Matutina dapat dilihat sebagai simbol perpecahan yang lebih besar dalam tubuh kekuatan politik nasionalis.
Namun, di sisi lain, konflik ini juga bisa menjadi tanda bahwa Jokowi tengah membentuk identitas politiknya sendiri, lepas dari orbit PDIP, dan menuju panggung politik pasca-presiden yang lebih otonom.
Apakah ini awal dari konsolidasi politik baru dengan wajah berbeda?
Atau justru awal dari perpecahan yang akan melemahkan kekuatan nasionalis dalam menghadapi tantangan bangsa ke depan?
Hanya waktu dan keputusan politik yang akan menjawabnya!
Sumber: SuaraNasional
Artikel Terkait
Roy Suryo Beberkan Dosa-Dosa Gibran Sehingga Sangat Layak Untuk Digulingkan!
Sebut Gerombolan HTI/FPI Bangkit, Ngabalin: Mereka Mulai Beringas Serang Pak Jokowi!
BOCORAN! Purnawirawan TNI Desak Pemakzulan Gibran, Prabowo Diam-Diam Berubah Sikap?
Sebut Jokowi Memenuhi Syarat jadi Nabi, Kader PSI: Jokjowi Dikatain Firaun saja Bebas