Punya ayah yang mengerti dunia balap jelas jadi keuntungan besar bagi Veda. Ini salah satu faktor penentu. Meski berangkat dari lintasan seadanya, Veda bisa merangsek sampai ke level dunia. Sebagai mantan pebalap, Sudarmono tak cuma paham teknik. Ia juga mengerti celah untuk masuk ke industri yang ketat ini. Tanpa bekal itu, perjalanan Veda mungkin tak akan sejauh ini.
Sudarmono ingat betul. Di generasinya dulu, kata ‘balapan’ punya konotasi buruk. Yang terbayang bukan podium mentereng, melainkan aksi kebut-kebutan di jalanan yang ugal-ugalan.
“Saya balapan dari liar, maksudnya dari jalanan. Generasi saya kalau balapan ya memang harus motor kencang, nggak ada prepare fisik seperti itu,”
kenangnya. Dunia balap yang sesungguhnya, yang penuh perhitungan, baru ia pahami saat mencicipi kompetisi tingkat Asia. Dari sana ia sadar, kejuaraan dunia butuh regenerasi talenta muda sejak usia dini. “(Karena) saya sudah tahu jalurnya, maka saya tata anak saya ke jalur itu.”
Jalur yang ia maksud adalah Astra Honda Racing School (AHRS). Program ini dirancang untuk mengembangkan pebalap muda Indonesia ke kancah dunia. Veda bergabung di tahun 2019.
“Jadi, kalau kejuaraan dunia itu ada programnya. Katakanlah kayak program terjadi di Veda. Kita ngomongin di Honda ya, ada program satu tahun itu dicari 16 pebalap di Indonesia, dan itu seleksinya gratis. Dalam satu tahun itu ada beberapa event, dibalapin, diambil dua (orang). Setelah diambil dua, diberangkatin ke kejuaraan, ke step tengahnya ke Thailand. Itu kalau juara, diambil lagi ke balapan ke seluruh Asia, diambil dua lagi sampai ke dunia. Itu yang dijalankan Veda saat ini, dan itu gratis,”
tuturnya menjelaskan.
Melalui AHRS, karier Veda melesat. Tahun 2022, di usia 14 tahun, ia debut di Asia Talent Cup dan finis ketiga. Tahun ini, ia turun di Red Bull Rookies Cup. Raihan double win di Mugello bulan Juni lalu, ditambah kemenangan di Sachsenring, Jerman, membawanya finis sebagai runner-up. Prestasi itu memberinya tiket ke Moto3, meski usianya belum genap.
Melihat prestasi anaknya, Sudarmono tak larut dalam euforia. Sebagai pelatih di Mons54 Private Racing School, ia justru prihatin. Fasilitas yang minim di Tanah Air, menurutnya, menghambat bakat-bakat muda mencapai puncaknya. Apalagi bagi mereka yang tak berasal dari keluarga pebalap.
“Idealnya pertama ada fasilitas, dan ada minat. Jadi, orang yang nggak tahu jalur, karena ada fasilitas, dia tahu akan industri balap. Tapi kalau nggak tahu ya, yang sekarang ke dunia balap yang generasi-generasi karena tahu dari orang tuanya atau keluarganya aja. Jadi untuk bibitnya paling ya cuma orang-orang itu aja,”
akunya. Regenerasi pebalap Indonesia, kata dia, masih berputar di lingkaran yang sama.
Artikel Terkait
Emas SEA Games Dilelang, Dana Rp350 Juta untuk Korban Bencana Sumatera
Comeback Sang Ratu Gawang: Emilia Nova Pecahkan Rekor Nasional Usai Taklukkan Cedera
Sejarah Terukir: Perak SEA Games Pertama untuk Futsal Putri Indonesia
Fajar/Fikri Gagal Bangkit, Tumbang dari Ganda India di World Tour Finals