Biar Kami Dihina, Asal Anak Maju: Kisah Ibu Linda dan Sekolah Rakyat yang Mengubah Nasih Tita

- Selasa, 09 Desember 2025 | 13:00 WIB
Biar Kami Dihina, Asal Anak Maju: Kisah Ibu Linda dan Sekolah Rakyat yang Mengubah Nasih Tita

Stigma itu nyata. Bagi sebagian orang di sekitarnya, memilih Sekolah Rakyat dianggap sebagai langkah mundur. Linda Martini merasakan betul pandangan sebelah mata itu. Sebagai ibu dari seorang siswi di SRMP 5 Solok, Sumatera Barat, ia kerap diremehkan hanya karena pilihan pendidikan untuk anaknya.

"Masa anak berprestasi dimasukkan ke Sekolah Rakyat? Itu sekolah percobaan,"

begitu kira-kira ucapan yang kerap ia dengar. Linda mengakuinya dalam sebuah keterangan tertulis, Selasa lalu. Tapi omongan orang tak lantas menggoyahkan tekadnya. Bagi Linda, yang penting masa depan Tita Martalita, putri ketiganya, terjamin. "Biar kita dihina orang, asalkan anak maju," tegasnya.

Bagi keluarga mereka, pendidikan adalah segalanya. Satu-satunya tiket untuk mengubah nasib. Ayah Tita, Mardaus, bekerja serabutan sebagai buruh tani dengan penghasilan yang bisa Rp 50 ribu sehari, kadang sampai Rp 75 ribu. Kalau lagi tak ada pekerjaan, mereka berdua turun ke sungai. Mengumpulkan batu, mendorong gerobak ke jalan besar, lalu menunggu berbulan-bulan agar tumpukan batu itu laku terjual.

Hidup pas-pasan membuat mereka harus pilah-pilih. Anak pertama gagal kuliah karena terbentur biaya. Anak kedua bisa bersekolah di pondok, tapi untuk menghemat, Linda rela mengantar rantang makanan setiap hari. Lalu ada Tita. Gadis kecil yang sejak usia empat tahun sudah rajin mengaji dan menghafal Al-Qur'an.

Nasib membawanya ke Sekolah Rakyat. Dan bagi Linda, ini adalah jalan yang harus ditempuh agar Tita tak mengulangi siklus hidup mereka yang serba sulit.

"Anak saya jangan berakhir seperti saya. Saya cuma tamat SMP, bapaknya SD. Kalau kami tak mampu, biarlah anak kami yang membawa kami maju,"


Halaman:

Komentar