Hari ini dan besok, 9-10 Desember 2025, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bakal menggelar rapat pleno. Mari kita sambut dengan hati lapang dan penuh optimisme. Semangat ukhuwah nahdliyah harus jadi pengingat: ini momentum untuk mengakhiri kegaduhan di ormas yang kita cintai.
Ini bukan sekadar pertemuan rutin. Lebih dari itu, rapat ini adalah momen krusial untuk menata kembali bahtera organisasi. Tujuannya jelas: memastikan arahnya tetap lurus, sesuai khittah dan AD/ART yang berlaku. Di tengah dinamika yang ada, pertemuan ini adalah wujud nyata ketaatan konstitusional. Sebuah ikhtiar kolektif mencari jalan terbaik lewat musyawarah mufakat, sebagaimana tradisi luhur NU selalu ajarkan.
Salah satu agenda utamanya? Penetapan Pejabat (Pj) Ketua Umum PBNU. Momen ini sarat makna. Dinamika pra-pleno, dengan segala perdebatan dan perbedaan pandangan, sejatinya adalah bumbu demokrasi khas pesantren. Dari situ kita belajar betapa pentingnya duduk bersama. Argumen utama yang mengemuka adalah perlunya islah konstitusional sebagai jalan tengah mengakhiri kemelut.
Lantas, apa itu islah konstitusional? Intinya, penyelesaian masalah dilakukan lewat mekanisme internal organisasi yang sah. Menghormati AD/ART, dan yang terpenting, mengutamakan persatuan di atas segalanya. Ini bukan soal siapa menang atau kalah. Ini tentang bagaimana NU sebagai organisasi besar tetap teguh di jalur khidmatnya untuk bangsa dan agama.
Kita perlu mengiringi hajatan penting ini dengan doa tulus. Doa agar setiap proses berjalan aman, damai, dan lancar. Jauh dari perpecahan yang hanya akan mencederai persaudaraan. Harapan besar kita, kemelut di tubuh PBNU bisa segera usai. Berganti dengan suasana islah yang mengedepankan kemaslahatan bersama.
Semangat islah konstitusional ini seyogyanya merangkul semua pihak. Tanpa terkecuali.
Kepada Rois Aam, jajaran Syuriah, dan Penjabat Ketua Umum yang nantinya terpilih, harapannya bisa menunjukkan sikap kenegarawanan. Bisa menghargai Gus Yahya dan kelompoknya; semuanya diangkul kembali dalam barisan perjuangan, baik di jajaran Syuriah maupun Tanfidiyah.
Tidak perlu ada pemecatan yang justru kontraproduktif. Kalau memang diperlukan, cukup lakukan reposisi struktural secara bijak dan adil. Langkah ini bukan cuma gesture rekonsiliasi. Ini prasyarat penting agar islah kultural dan konstitusional benar-benar jadi jalan tengah yang kokoh. Menyatukan kembali potensi terbaik NU demi kemajuan umat dan bangsa.
Artikel Terkait
Menteri Riefky Blusukan di Aceh, Akses Terputus Ditempuh dengan Boat
Baju Warga Berbaris di Apel Gabungan Polres Tanjung Priok
Gus Yahya Gelar Pleno NU, Abaikan Keputusan Pemberhentian
Cucun Syamsurijal Desak Normalisasi Sungai dan Huntara di Pidie Jaya