Lupakan dulu imaji romantis tentang guru tua dan debu kapur tulis. Tahun 2025 ini, dunia pendidikan kita benar-benar sedang berubah total.
Coba lihat seorang guru di pedalaman Papua. Ia tak lagi cuma menatap papan tulis. Jari-jarinya kini menari di atas layar pintar, menghubungkan murid-muridnya dengan mentor ratusan kilometer jauhnya di Jakarta. Mereka mengakses materi dari seluruh dunia, dan yang menakjubkan, semuanya bisa dilakukan tanpa bergantung pada sinyal internet. Sungguh, ini bukan cerita fiksi.
Inilah realitas baru di 288.000 sekolah, buah dari program digitalisasi masif pemerintah. Ratusan ribu perangkat canggih telah dibagikan. Tapi, sebagai orang yang berkecimpung di dunia manajemen SDM, ada satu hal yang terus mengusik pikiran saya. Sehebat apa pun teknologi, ia cuma benda mati. Kuncinya ada pada orang yang mengoperasikannya.
Nah, di situlah pertaruhan sesungguhnya. Mencapai Indonesia Emas 2045 bukan soal kecanggihan smartboard. Ini lebih tentang seberapa cepat kita mengubah pola pikir guru: dari sekadar "pengajar" menjadi "pemandu" yang membuka jalan bagi siswa di panggung global.
Berakhirnya Zaman Menghafal
Perubahan ini memang sebuah keharusan. Zaman sudah berbeda.
Guru sekarang bukan lagi satu-satunya sumber kebenaran. Mau belajar sejarah, matematika, atau bahasa asing? Semuanya ada di ujung jari, tersaji dengan cara yang seringkali lebih menarik di dunia maya. Bahkan, dengan teknologi tertentu, konten belajar yang jumlahnya jutaan jam itu bisa diakses secara luring, tanpa internet.
Kalau peran guru cuma mentransfer materi atau menyuruh hafalan, maka fungsinya memang bisa digantikan mesin. Tidak ada artinya lagi.
Mereka harus naik tingkat. Menjadi kurator yang pilih materi terbaik, fasilitator diskusi yang menantang, sekaligus mentor karakter. Biarkan urusan administrasi dikelola sistem digital. Waktu berharga guru harus dialokasikan untuk membangun nalar dan empati anak didik.
Angkanya pun sudah membuktikan. Digitalisasi yang tepat bisa mendongkrak literasi sampai 14 persen dan numerasi 27 persen. Tapi sekali lagi, syarat mutlaknya cuma satu: kesiapan sang guru.
Artikel Terkait
Pramono Anung Injak Gas, Natal 2026 di Jakarta Diharapkan Lebih Semarak dan Panjang
KPK Bongkar Klaim Ridwan Kamil Soal Mobil Mercy dan Moge Mewah
13,5 Ton Cengkih Radioaktif Dipulangkan AS, Bakal Dimusnahkan Tahun Depan
Gubernur Pramono Anung Geruduk Atribut Kampanye yang Membandel di Jakarta