Escobar menawarkan gagasan "pluriverse," di mana banyak dunia bisa hidup berdampingan. Gagasan ini sejalan dengan "a world where many worlds fit": sebuah ajakan untuk melihat bahwa solusi krisis iklim tak mungkin lahir dari satu model tunggal yang seragam.
Sementara COP 30 sibuk dengan tabel-tabel besar dan presentasi ber-AC, solusi lain justru tumbuh di tempat yang jarang masuk peta: ladang kecil, kebun, dan hutan adat.
Agroekologi adalah salah satu contohnya. Ini bukan cuma teknik bertani, tapi cara hidup yang menolak logika produksi massal dan pengendalian korporasi. Agroekologi memulihkan relasi manusia dan alam, menegaskan bahwa kedaulatan pangan dan keadilan ekologis lahir dari otonomi komunitas, bukan dari skema kredit karbon.
Di Indonesia, praktik agroekologi bukan konsep abstrak. Petani di Jawa Tengah kembali menghidupkan sistem tumpangsari yang tahan cuaca ekstrem. Masyarakat adat di Kalimantan Barat menjaga hutan lewat pola agroforestri tradisional yang sudah berlangsung berabad-abad. Di Flores, komunitas kecil membangun ekonomi pangan lokal berbasis benih warisan.
Semua ini adalah dunia-dunia kecil yang terus hidup meski tak pernah masuk spreadsheet COP. Mereka bukan cuma bertahan, tapi menawarkan jalan alternatif yang secara ekologis lebih sehat dan secara sosial lebih adil.
Jadi, di COP yang ke-30 ini, dunia harus memilih: apakah kita akan terus bergantung pada logika tunggal yang sama yang mengubah udara, tanah, dan hutan jadi angka-angka pasar? Atau kita mulai membiarkan banyak dunia berbicara, tumbuh, dan menentukan jalannya sendiri?
Karena pada akhirnya, mungkin dunia yang kita cari-cari di forum besar itu sudah lama hidup di tempat yang tak terlihat di peta: di ladang kecil, di kebun, di hutan, dan di masyarakat yang menanam untuk kehidupan. Dunia-dunia kecil yang tumbuh jauh dari sorotan konferensi justru membuktikan bahwa bumi hanya bisa dirawat jika kita memberi ruang bagi banyak cara hidup untuk berkembang.
"A world where many worlds fit": dunia di mana banyak dunia lain diberi tempat untuk bernapas, tumbuh, dan menentukan jalannya sendiri.
Afgan Fadilla, Dosen Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta dan Peneliti di Pusat Kajian Agraria dan Hak Asasi Petani
Artikel Terkait
Fadli Zon Soroti Peran Mahasiswa Sebagai Benteng Budaya di Era Digital
Kontroversi Unggahan Oxford: Peneliti Indonesia Terabaikan di Balik Temuan Rafflesia Langka
Obligasi Daerah: Wacana 25 Tahun yang Menanti Payung Hukum
Prabowo Gerak Cepat, Audit Medis Digelar Usai Ibu dan Bayi Tewas Ditolak Empat RS di Jayapura