Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto: Antara Jasanya dan Polemik Sejarah yang Belum Usai
Pemerintah secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, pada 10 November 2025. Keputusan yang tertuang dalam Keppres No. 116/TK/Tahun 2025 ini langsung memicu perdebatan sengit di publik, khususnya di kalangan aktivis dan sejarawan yang menilai langkah ini mengabaikan catatan kelam masa lalu.
Dua Sisi Warisan Soeharto: Pembangunan dan Kontroversi
Di satu sisi, Soeharto sering disebut sebagai tokoh yang berjasa membangun pondasi ekonomi Indonesia, menstabilkan inflasi, dan mencapai swasembada pangan. Namun, di sisi lain, rezim Orde Baru pimpinannya juga dikenang sebagai periode penutupan ruang demokrasi, pemenjaraan lawan politik, dan pembungkaman kebebasan pers selama lebih dari tiga puluh tahun.
Rocky Gerung Kritik Peran Survei Publik dalam Legitimasi Gelar
Merespons polemik ini, pengamat politik Rocky Gerung menyoroti peran lembaga survei dalam membentuk opublik. Ia menyatakan bahwa nalar publik sedang "dikepung oleh angka". Rocky Gerung menilai survei yang mengklaim 80% publik setuju dengan gelar tersebut telah menjadi "kompas moral baru" yang menggantikan analisis sejarah yang mendalam.
Menurut Rocky Gerung, demokrasi tidak seharusnya ditentukan oleh popularitas semata, melainkan oleh kejujuran dalam menghadapi sejarah. Ia memperingatkan bahwa metodologi survei rentan dimanipulasi oleh kepentingan tertentu dan tidak boleh dijadikan landasan moral untuk keputusan strategis negara.
Artikel Terkait
Kunjungan Mendadak Amarulla Octavian ke Istana, Ada Apa dengan Pimpinan BRIN?
Nadiem Makarim Jadi Tersangka Korupsi Chromebook, Ungkap Kondisi Hati dan Dukungan untuk Guru
Syaikhona Muhammad Kholil Resmi Jadi Pahlawan Nasional: Biografi, Peran, dan Jasanya
Proses Lengkap Menteri Fadli Zon Tetapkan 10 Pahlawan Nasional 2025