Tanggapan Ahmad Khozinudin, S.H.:
Pertemuan di Solo antara Barisan Relawan Jalan Perubahan (Bara JP) dan Jokowi memunculkan pernyataan menarik. Willem Frans Ansanay, selaku Ketua Umum, mengklaim Jokowi bersedia memaafkan sebagian besar terlapor kasus pencemaran nama baik. Tapi, ada pengecualian. Dari dua belas nama, tiga di antaranya disebut Willem sudah "kelewatan" dan tak akan dimaafkan.
Beberapa hari berselang, Jokowi sendiri mengonfirmasi sikapnya. Pintu maaf memang terbuka bagi para tersangka terkait tuduhan ijazah palsu itu. Namun begitu, Presiden menegaskan dengan gamblang: pemberian maaf secara pribadi sama sekali tak berarti proses hukum di kepolisian akan berhenti. Hukum tetap harus berjalan.
Nah, dari sini kita bisa lihat. Pernyataan dari kubu Jokowi dan relawannya ini, kalau mau jujur, terasa licik sekaligus pengecut. Kenapa licik? Karena tawaran maaf yang bersyarat untuk sembilan orang, tapi tidak untuk tiga jelas beraroma politik pecah belah. Strategi ini seolah ingin memecah konsolidasi para pihak yang selama ini getol mengusut kasus ijazah.
Di sisi lain, kelicikan lain juga tampak. Mereka menawarkan maaf padahal tak ada satu pun dari kubu Roy Suryo yang meminta maaf terlebih dahulu. Belum lagi, proses hukumnya sendiri belum selesai, belum ada putusan pengadilan yang inkrah. Jadi, ini seperti bermain korban atau playing victim di tengah arena.
Lalu, kenapa disebut pengecut? Sampai detik ini, baik Jokowi, kuasa hukumnya, maupun relawan Bara JP, tak satu pun berani menyebut secara terbuka siapa sebenarnya tiga nama yang tak dimaafkan itu. Mereka bicara tapi enggan tunjuk hidung.
Artikel Terkait
Damaskus Luncurkan Pound Baru, Gambar Buah Gantikan Wajah Tokoh
Dosen UIM Dipecat Usai Viral Meludahi Pegawai Swalayan
Ketum PRIMA Desak Pilkada hingga Pilkades Kembali ke Sistem Perwakilan
Kebohongan Akut: Saat Kata-Kata dan Kenyataan Tak Lagi Bertemu