Dulu, main game cuma jadi selingan sepulang sekolah. Sekarang? Bisa jadi masalah serius. Di balik gemerlap teknologi, ada fenomena yang diam-diam menggerogoti masa depan anak-anak: kecanduan game. Gadget yang mestinya jadi jendela ilmu, malah berubah jadi 'mesin waktu' yang membawa mereka jauh dari kenyataan.
WHO bahkan sudah memasukkan kecanduan game dalam daftar gangguan kesehatan mental, disebut "Gaming Disorder". Intinya, ini bukan lagi sekadar hobi. Ini penyakit perilaku. Cirinya jelas: kontrol diri hilang, prioritas hidup kacau, dan main terus meski dampak buruknya sudah terasa nyata.
Kasusnya makin banyak dan mengkhawatirkan. Di Bandung, seorang bocah kelas 5 SD ketahuan mencuri uang ibunya. Alasannya sederhana sekaligus mengerikan: takut kalah level dari teman-temannya di game online.
Lalu ada remaja SMP yang ngamuk dan menghancurkan TV di rumahnya. Pemicunya sepele: jaringan internet tiba-tiba mati di tengah-tengah match penting. Aksi amukannya sampai viral, jadi perbincangan nasional.
Seorang psikolog anak di Jakarta juga melaporkan tren yang sama. Kliennya, anak-anak usia 7 sampai 10 tahun, mulai menunjukkan gejala gangguan tidur, kecemasan, dan perilaku agresif. Akar masalahnya satu: game.
Di desa Jawa Tengah, seorang ayah hanya bisa geleng-geleng. Anaknya bolos sekolah berhari-hari, memilih menghabiskan waktu dari pagi sampai sore di warnet.
Memang, game sekarang dirancang bukan cuma untuk dimainkan, tapi untuk membuat pemain ketagihan. Sistem poin dan reward membanjiri otak dengan dopamin, sensasi senang yang bikin nagih. Di dunia maya, mereka bisa jadi pahlawan, diterima oleh komunitasnya hal yang mungkin sulit didapat di kehidupan nyata. Akibatnya, muncul obsesi untuk menang, lalu kecemasan kalau jauh dari game.
Menurut Dr. Kimberly Young, pelopor riset kecanduan internet, game online menawarkan "pelarian" yang sempurna bagi anak-anak.
“Game memberi mereka ruang untuk menjadi sosok yang diidamkan, sesuatu yang kerap tak mereka rasakan di dunia nyata,” katanya.
Sementara itu, neurosaintis Dr. Andrew Huberman punya penjelasan lebih dalam. Dopamin dari game, katanya, bisa mengacaukan sistem penghargaan alami otak. Aktivitas normal seperti belajar atau main di luar jadi terasa hambar, tidak memberi kepuasan yang sama.
Psikolog anak Seto Mulyadi pernah berpesan,
“Game itu sendiri bukan musuh. Tapi saat ia menggantikan kebahagiaan hidup anak yang sebenarnya, itu sudah jadi alarm bagi orang tua untuk bertindak.”
Artikel Terkait
Empat Parpol Serius Dorong Pilkada Kembali ke DPRD, Demokrat Ingatkan Bahaya Oligarki
Damaskus Luncurkan Pound Baru, Gambar Buah Gantikan Wajah Tokoh
Dosen UIM Dipecat Usai Viral Meludahi Pegawai Swalayan
Ketum PRIMA Desak Pilkada hingga Pilkades Kembali ke Sistem Perwakilan