Perdagangan Karbon Indonesia 2025: Peluang Ekonomi Hijau & Risiko Kolonialisme Baru

- Minggu, 02 November 2025 | 13:06 WIB
Perdagangan Karbon Indonesia 2025: Peluang Ekonomi Hijau & Risiko Kolonialisme Baru

Perdagangan Karbon di Indonesia: Peluang dan Tantangan Menuju Ekonomi Hijau

Perdagangan karbon telah menjadi solusi pasar inovatif dalam menghadapi krisis iklim global. Negara dan perusahaan kini dapat memperdagangkan hak pengurangan emisi, menciptakan mekanisme ekonomi baru. Bagi Indonesia yang memiliki hutan tropis dan ekosistem laut luas, pasar karbon membuka peluang besar sebagai sumber pendanaan hijau sekaligus memperkuat posisi diplomasi iklim global.

Namun, di balik potensi tersebut muncul pertanyaan mendasar tentang keamanan lingkungan dan kedaulatan negara. Siapa pemilik hak atas karbon? Apakah mekanisme ini benar-benar memperkuat ekologi nasional atau justru mengubah alam Indonesia menjadi komoditas pasar global?

Mekanisme Pasar Karbon dan Realitas di Lapangan

Pasar karbon diatur dalam Perjanjian Paris 2015, khususnya Pasal 6 yang memungkinkan kerja sama antarnegara dalam penurunan emisi. Secara teori, mekanisme ini efisien: negara maju dapat membiayai proyek hijau di negara berkembang dan memperoleh kredit emisi untuk target nasional mereka.

Namun dalam praktiknya, investigasi The Guardian dan lembaga Verra tahun 2023 mengungkap banyak proyek karbon yang diklaim menyerap emisi ternyata tidak menghasilkan pengurangan tambahan yang signifikan. Banyak proyek kehutanan yang sudah berjalan lama justru dijual ulang sebagai "offset baru", merusak kredibilitas pasar karbon.

Data World Bank State and Trends of Carbon Pricing 2024 menunjukkan kebijakan harga karbon kini mencakup 28% emisi global dengan nilai lebih dari 100 miliar dolar AS. Namun, sekitar satu miliar ton kredit karbon belum dimanfaatkan, menandakan surplus besar di pasar dengan integritas yang masih lemah.

Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Perdagangan Karbon

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengambil pendekatan hati-hati terhadap peluang ini. Dalam pidato PBB November 2024, Prabowo menegaskan komitmen Indonesia mencapai emisi net-zero sebelum 2050 sambil mempertahankan kedaulatan nasional atas sumber daya alam.

Langkah konkret diambil Oktober 2025 ketika Indonesia membuka kembali perdagangan karbon internasional setelah moratorium empat tahun. Pemerintah memperbolehkan unit karbon diperdagangkan lintas negara dengan syarat memenuhi standar internasional dan tercatat dalam registrasi karbon nasional.


Halaman:

Komentar