Jamiluddin menuturkan Pasal 7A ini menegaskan alasan pemakzulan presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya, baik bila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden.
"Jadi, kalau mengacu pada Pasal 7A UUD 1945, maka pemakzulan bisa satu paket presiden dan wakil presiden tapi bisa saja tidak satu paket. Hal itu terlihat pada kata 'dan atau' yang dapat diartikan bisa keduanya atau bisa salah satu diantaranya," ujarnya.
Ia mengatakan pemakzulan terhadap pasangan presiden dan wakil presiden terjadi bila keduanya melakukan kesalahan sesuai Pasal 7A UUD 1945. Namun, pemakzulan bisa dilakukan salah satu di antara mereka.
"Karena itu sangat tidak adil bila presiden yang melanggar Pasal 7A UUD 1945 tapi wakil presidennya ikut dimakzulkan. Begitu juga sebaliknya, bila wakil presiden yang melanggar Pasal 7A UUD 1945 tentu tak adil bila presidennya ikut dimakzulkan," katanya.
Oleh karena itu, pendapat Jokowi tentang pemakzulan semestinya harus sepaket, dianggap lemah dan tidak berdasarkan aturan.
"Jadi, Pasal 7A UUD 1945 sudah cukup adil, karena hanya akan menghukum orang yang salah. Ini juga melemahkan pendapat Jokowi yang menyatakan pemakzulan satu paket," tutupnya
Sumber: RMOL
Artikel Terkait
BGN Beberkan Fakta di Balik 41 Dapur Gratis Anak Politikus
Tembikar Gaza Bangkit: Warisan Budaya yang Tak Padam di Tengah Konflik
Bripda Fauzan Dipecat Polri: Kronologi Lengkap Kasus KDRT dan Sanksi Ganda
Bareskrim Polri Musnahkan Ladang Ganja 51,75 Hektare di Aceh, Selamatkan Rp 621 Miliar