Mengabaikan: Ketika Sikap Acuh Tak Acuh Menggerogoti Ikatan Sosial

- Kamis, 01 Januari 2026 | 02:06 WIB
Mengabaikan: Ketika Sikap Acuh Tak Acuh Menggerogoti Ikatan Sosial

Oleh: Elvani Ayuningsih Gulo

Kita semua pasti pernah melakukannya. Mengabaikan. Sikap itu muncul dalam bentuk-bentuk yang sederhana, bahkan seringkali luput dari perhatian kita sendiri. Intinya, ini adalah sikap di mana kita memilih untuk tidak memberi perhatian, tidak peduli, dan enggan merespons orang lain atau situasi di sekitar.

Contohnya? Banyak sekali. Tidak membalas senyuman atau sapaan, misalnya. Atau, cuek saja saat ada yang berbagi pendapat. Persoalan di lingkungan sekitar pun dibiarkan mengambang, seolah bukan urusan kita. Hal-hal remeh seperti ini ternyata punya efek yang tak remeh. Kalau dibiarkan terus dan dianggap biasa, sikap acuh tak acuh yang awalnya cuma tindakan personal lama-lama bisa berubah jadi kebiasaan bersama.

Alasan klasiknya biasanya kesibukan. Hidup serba cepat, tekanan kerja menumpuk, ditambah lagi dengan tuntutan ekonomi. Wajar saja kalau akhirnya fokus kita cenderung ke dalam, hanya pada kepentingan diri sendiri. Dalam kondisi seperti itu, memberi perhatian ke orang lain sering terasa seperti beban tambahan yang melelahkan.

Di sisi lain, perkembangan teknologi bukannya memperbaiki keadaan, malah sering memperparah. Meski kita terhubung 24 jam lewat gawai, kualitas perhatian justru merosot. Pesan chat dibaca tapi dibiarkan tanpa balasan. Status keluhan di media sosial cuma jadi tontonan, tanpa ada respons yang berarti. Percakapan digital pun bisa terputus begitu saja, tanpa penutup. Ironis, bukan? Alat yang seharusnya mendekatkan, justru membuat kita makin acuh.

Budaya ini merembet ke ruang sosial yang lebih luas. Berbagai persoalan publik sering kita sambut dengan diam, selama itu tidak mengganggu kepentingan pribadi. Sikap masa bodoh semacam ini perlahan-lahan menggerogoti rasa kebersamaan. Ikatan sosial jadi renggang, kepekaan kita terhadap sesama pun ikut tumpul.


Halaman:

Komentar