Namun begitu, kita juga perlu memahami akar masalahnya. Budaya mengabaikan ini tidak tumbuh dari ruang hampa. Ia lahir dari kelelahan sosial yang nyata, tekanan hidup, dan ritme kehidupan yang serba instan. Dalam kadar tertentu, menjaga jarak bahkan bisa jadi bentuk pertahanan diri untuk bertahan.
Tetapi, bahayanya muncul ketika sikap ini menjadi kebiasaan yang kita pelihara. Dampaknya mengikis hal-hal mendasar dalam hidup bermasyarakat: empati, solidaritas, kepedulian. Efeknya mungkin tidak langsung terasa, tapi perlahan-lahan ia membentuk ulang kualitas hubungan kita. Komunikasi jadi hambar, rasa saling percaya menipis. Masalah kecil bisa membesar karena tak ada yang peduli untuk menyelesaikannya sejak awal. Jangka panjangnya? Solidaritas sosial melemah, dan kita terbiasa hidup berdampingan tanpa ikatan emosional yang kuat.
Jadi, apa yang bisa dilakukan? Langkah pertama tentu saja dengan menyadarinya. Perubahan tidak harus dimulai dari hal-hal besar. Cukup dengan membalas sapaan dengan tulus, mendengarkan saat orang lain bicara, atau sekadar menaruh perhatian pada keadaan sekitar. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, kehadiran yang tulus justru sesuatu yang langka dan sangat berharga.
Pada akhirnya, kehidupan sosial yang sehat tidak cuma diukur dari kemajuan teknologi atau kesuksesan individu. Tapi lebih pada kemauan kita untuk saling memandang dan memperhatikan. Dengan mengurangi sikap mengabaikan, kita memberi ruang bagi empati untuk bernapas kembali. Dari situlah, dari perhatian-perhatian kecil yang konsisten, kepedulian sosial bisa tumbuh dan menjaga kemanusiaan kita tetap utuh.
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Katholik Santo Thomas Medan, Fakultas Ilmu Komputer, Program Studi Teknik Informatika.
Artikel Terkait
Di Balik Keriuhan Pergantian Tahun, Ada Peringatan untuk Tak Lupa Diri
Bali dan Jogja Ramai, Arus Wisatawan Naik Jelang Malam Tahun Baru
Prabowo Akhiri Tahun di Pengungsian, Soroti Kemajuan Pemulihan Pascabencana
Prabowo Tegaskan Penegakan Hukum Tanpa Ragu di Tengah Reruntuhan Batang Toru