Aceh dan Ibu Pertiwi: Sebuah Jeritan yang Tak Kunjung Didengar

- Selasa, 30 Desember 2025 | 16:20 WIB
Aceh dan Ibu Pertiwi: Sebuah Jeritan yang Tak Kunjung Didengar

Jawabannya: iya, sebagian memang ada di sana. Tapi berhenti di situ itu licik. Sistem Otsus didesain bersama oleh pusat dan daerah. Kalau pusat cuma melempar uang tanpa kontrol yang berarti dan tanpa keberanian membenahi struktur, itu sama saja seperti Ibu memberi uang jajan, lalu menutup mata ketika uang itu diambil paksa oleh kakak yang paling kuat di rumah. Anak kecilnya tetap kelaparan.

Di sinilah Aceh sering terlihat “rewel”. Setiap ada momen nasional, tuntutannya muncul lagi. Orang luar lalu berkata, “Kok Aceh ribut lagi sih, tidak bisa move on?” Coba balik pertanyaannya: gimana mau move on kalau lukanya belum sembuh? Orang bisa melangkah dari sebuah luka kalau lukanya diobati, bukan cuma ditutup dengan perban kotor.

Pidato Mualem yang viral itu adalah contoh seorang anak yang terlalu lama mengomel di dapur, lalu akhirnya bersuara di ruang tamu. Dia menangis bukan untuk drama, tapi karena lelah. Buzzer akan bilang, “Ini politis.” Ya, tentu saja politis. Karena janji yang ditagih itu adalah janji politik. Damai adalah keputusan politik. Jangan mau berdamai, tapi alergi dengan konsekuensi untuk menepati janjinya.

Ada juga yang berteriak, “Ini bahaya, nanti Aceh minta merdeka lagi!”

Itu logika menakut-nakuti. Faktanya, mayoritas rakyat Aceh hari ini tidak menginginkan perang atau kemerdekaan. Yang mereka mau sederhana: dihargai sebagai anak, bukan dianggap beban. Justru jika setiap keluhan dibalas dengan kecurigaan dan tuduhan, jarak emosional akan semakin jauh. Dalam keluarga, jika setiap protes anak dijawab dengan, “Kamu durhaka, ya?”, yang terjadi bukanlah kepatuhan, melainkan keheningan yang dingin dan berbahaya.

Ambil contoh data pengangguran terbuka di Aceh, terutama di kalangan muda. Angkanya relatif tinggi. Banyak pemuda Aceh merantau, bukan karena tidak cinta tanah kelahiran, tapi karena tanah kelahirannya tidak memberi mereka ruang untuk hidup. Ini menciptakan luka baru. Anak yang pergi merantau itu bukan cuma meninggalkan kampung halaman, tapi juga meninggalkan harapan.

Jadi, ketika Aceh terus bersuara, terus menagih, terus terlihat “rewel”, sebenarnya dia sedang melakukan hal yang paling dewasa dalam sebuah hubungan keluarga: berbicara terus terang sebelum semuanya rusak tak terselamatkan.

Anak yang benar-benar putus asa itu akan diam. Tidak menuntut apa-apa lagi. Acuh tak acuh. Aceh belum sampai di titik itu, dan semoga tidak akan pernah.

Pertanyaan terakhir yang sering dilontarkan: “Terus, maunya Aceh apa sih?”

Jawabannya tidak muluk-muluk. Janji ditepati. MoU dijalankan sepenuh hati, bukan setengah-setengah. Otonomi jangan cuma hidup di atas kertas. Dana triliunan itu harus terasa hingga ke dapur rakyat paling sederhana. Dan yang paling utama, Aceh ingin diperlakukan sebagai subjek, bukan sekadar objek untuk dijaga stabilitasnya saja.

Kalau Indonesia adalah Ibu Pertiwi, maka momen ketika Mualem berdiri menagih janji itu bukanlah pemberontakan. Itu adalah seorang anak yang berdiri di hadapan ibunya dan berkata, “Bu, aku lelah terus menguat. Aku hanya minta Ibu memegang kata-kata Ibu sendiri.”

Dan jujur saja, jika ia seorang Ibu yang baik, kalimat itu semestinya memantik refleksi, bukan sikap defensif.

Karena sejarah telah mengajarkan satu hal: sebuah negara tidak runtuh karena anaknya yang cerewet. Tapi karena terlalu lama berpura-pura tuli, tidak mau mendengar jerit anak kandungnya sendiri.


Halaman:

Komentar