✍🏻 Balqis Humaira
Mari kita sepakat dulu. Nggak ada anak yang lahir dengan keinginan ribut sama ibunya. Anak rewel itu bukan soal benci. Itu soal butuh perhatian, dan rasa lelah karena jeritannya tak pernah didengar. Nah, posisi Aceh mirip sekali dengan anak semacam itu. Sejak kecil sudah banyak mengalah, selalu nurut. Tapi setiap kali membuka mulut, jawaban yang datang cuma satu: “Sabarlah, nanti juga Ibu kasih.”
Masalahnya, kata “nanti” itu sudah berlangsung puluhan tahun.
Kalau Indonesia adalah Ibu Pertiwi, maka Aceh adalah anak yang ikut merawat rumah ini sejak awal. Bukan sekadar ikut, tapi benar-benar membangun. Saat Republik ini masih miskin, Aceh menyumbang emas, logistik, bahkan pesawat pertama. Data sejarahnya jelas; ini bukan dongeng. Jadi, Aceh masuk ke Indonesia bukan sebagai anak pungut. Dia anak kandung yang ikut membangun fondasi rumah dari nol. Dari sini seharusnya kita paham, kenapa hubungan Aceh dan pusat begitu sensitif. Ini relasi keluarga. Dan dalam keluarga, luka justru lebih mudah menganga dan lebih sakit terasanya.
Lalu muncul pertanyaan klasik dari para buzzer: “Kalau merasa anak kandung, kenapa ribut terus?”
Justru karena itulah. Karena merasa anak kandung, maka dia berani protes ketika merasa diperlakukan tak adil. Anak tiri biasanya diam, takut diusir. Aceh berani bersuara keras justru karena keyakinannya bahwa ini adalah rumahnya sendiri.
Masalah mulai kentara ketika Aceh merasa sang Ibu makin menjauh. Sumber daya alamnya besar. Gas Arun pernah menjadi penopang energi nasional. Tapi apa yang dirasakan rakyat? Ketimpangan. Data kemiskinan menunjukkan ironi yang pahit: Aceh konsisten berada di jajaran provinsi termiskin di Sumatera, bahkan nasional. Padahal, dana yang mengalir lewat Otonomi Khusus mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya. Ini angka resmi BPS, bukan opini belaka.
Dari sini, si anak mulai bertanya dalam hati: “Bu, kok aku bisa miskin di rumah sendiri?”
Pertanyaan itu berubah jadi kekecewaan. Kekecewaan yang dipendam, lama-kelamaan menumpuk dan akhirnya meledak jadi konflik. Banyak orang di luar Aceh menyederhanakan konflik ini sebagai “separatisme”. Itu cara pandang yang malas. Konflik lahir dari akumulasi rasa ditinggalkan. Anak yang merasa jeritannya tak didengar, akhirnya teriak lebih keras. Teriak paling keras itu ya perang. Bukan karena jahat, tapi karena sudah tak tahu lagi cara lain untuk didengar.
Lalu datanglah tsunami 2004. Dunia runtuh, Aceh hancur lebur. Di titik paling lelah itu, si anak berkata pada ibunya: “Sudah, kita berhenti ribut. Kita damai. Tapi Ibu janji, jangan tinggalkan aku lagi.” Maka lahirlah MoU Helsinki. Ini poin penting: MoU itu bukan hadiah atau belas kasihan. Itu adalah kontrak damai. Ada pasal-pasal, ada kewajiban dua arah. Aceh menurunkan senjata, membubarkan struktur perlawanan, menerima NKRI sepenuhnya. Pengorbanan politik dan psikologis yang sangat besar. Sebagai gantinya, negara berjanji: otonomi luas, keadilan ekonomi, reintegrasi, ruang politik.
Sekarang, kita berdebat sendiri. “Tapi kan Aceh sudah dapat Otsus, sudah damai, sudah aman.”
Iya, aman. Tapi aman buat siapa? Aman hanyalah lantai paling dasar. Seorang anak tak cuma butuh rumah yang atapnya tidak bocor. Dia butuh makan, pendidikan, dan masa depan yang jelas.
Dana Otsus Aceh sejak 2008 nilainya ratusan triliun jika diakumulasi. Problemnya bukan cuma pada jumlah, tapi ke mana dan bagaimana uang itu mengalir. Banyak laporan audit dan temuan di lapangan menunjukkan masalah tata kelola, elite capture, proyek yang tak menyentuh langsung kehidupan rakyat kecil. Jadi ketika Ibu berkata, “Ibu kan sudah memberi uang,” si anak bisa menjawab, “Iya Bu, tapi kok perutku tetap keroncongan?”
Lalu muncul lagi tudingan: “Berarti salah pemerintah Aceh dong?”
Artikel Terkait
Sanperrestre: Pawai Anjing Natal Madrid yang Sarat Pesan Kesejahteraan Hewan
Buya Yahya Jadi Penengah, Inara Rusli dan Insanul Fahmi Sepakat Berdamai
Malam Tahun Baru Jakarta: Dishub Siapkan Skenario Pengalihan di 9 Titik Vital
Malam Tahun Baru di Sudirman-Thamrin: Delapan Jam Jantung Ibu Kota Bebas Kendaraan