Esensi yang Terlupakan
Menariknya, John Elkington sendiri pernah mengingatkan bahwa Triple Bottom Line (TBL) bukanlah alat pelaporan CSR yang dipoles untuk pencitraan. Bahkan di 2018, ia sempat melakukan "recall" atas konsepnya karena banyak organisasi gagal paham esensi transformasionalnya. Intinya, TBL menuntut perubahan cara pikir. People dan Planet harus jadi pusat strategi, sementara Profit adalah hasil dari keseimbangan keduanya.
Di Indonesia, ini artinya keberlanjutan harus meresap sampai ke inti perencanaan pembangunan. Bukan cuma numpang lewat di dokumen visi atau laporan tahunan. Tanpa integrasi nyata dalam kebijakan tata ruang, investasi, dan pengelolaan sumber daya alam, TBL cuma akan jadi slogan kosong. Slogan yang tak mampu memutus siklus bencana.
Persoalan Tata Kelola
Banjir Sumatra juga mengungkap borok tata kelola yang masih sektoral dan reaktif. Teori "Good Governance" menekankan, pembangunan berkelanjutan mensyaratkan transparansi, akuntabilitas, dan kemampuan negara mengelola risiko jangka panjang. Tata kelola bukan cuma soal serap anggaran, tapi juga keberanian mengendalikan aktivitas ekonomi yang merusak daya dukung lingkungan.
Kalau kebijakan pembangunan tidak diselaraskan dengan mitigasi risiko ekologis, sama saja negara menunda masalah. Menundanya ke masa depan dengan biaya yang lebih besar. Tata kelola berbasis TBL menuntut sinkronisasi. Perencanaan ekonomi, perlindungan sosial, dan konservasi lingkungan harus jadi satu paket kebijakan yang utuh.
Berpindah Haluan
Siklus ini tak akan putus jika respons kita tetap reaktif, sekadar memadamkan api. Pendekatan "preventive development" justru menunjukkan, investasi di pencegahan dan mitigasi jauh lebih efisien ketimbang biaya pemulihan. Setiap rupiah yang dikeluarkan untuk menjaga ekosistem dan memperkuat ketahanan sosial, berpotensi menghemat biaya kerusakan berlipat ganda di kemudian hari.
Dalam kerangka ini, TBL bukan beban. Ia justru strategi rasional untuk menekan risiko sistemik. Keberlanjutan bukan musuh pertumbuhan, melainkan prasyarat agar pertumbuhan itu sendiri tidak runtuh oleh bencana yang kita ciptakan sendiri.
Peringatan Keras
Banjir Sumatra harus dibaca sebagai peringatan keras. Kita tidak bisa terus berputar dalam lingkaran yang sama. Triple Bottom Line menawarkan jalan keluar: Planet sebagai fondasi, People sebagai inti, dan Profit sebagai hasil. Abaikan salah satunya, seluruh sistem jadi rapuh.
Empati untuk para korban memang perlu. Tapi itu harus dibarengi dengan keberanian untuk mengubah kebijakan. Tanpa itu, bencana berikutnya cuma soal waktu. Pilihannya sebenarnya jelas: tetap jalan di tempat dalam siklus bencana, atau menata ulang pembangunan dengan TBL sebagai agenda bersama pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.
Artikel Terkait
Muatan Besi Tiga Ton Meluncur, Dua Nyawa Melayang di Cilincing
Kajari HSU Dicopot Usai OTT KPK, Dugaan Pungli Ratusan Juta Mengalir
Trotoar Benhil Mirip Arena Halang Rintang, Perbaikan Baru Dimulai 2026
Tol Cipali Sepi Jelang Natal, Volume Kendaraan Turun 25 Persen