Sejak reformasi bergulir, belum ada presiden yang dihantam ujian seberat Susilo Bambang Yudhoyono. Bencana dan masalah datang bertubi-tubi, nyaris tanpa jeda.
Bayangkan saja. Baru beberapa bulan ia dilantik tepatnya 20 Oktober 2004 dunia seolah runtuh. Tsunami Aceh yang maha dahsyat meluluhlantakkan bumi Serambi Mekah pada 26 Desember 2004. Situasi saat itu sungguh tidak mudah. Ekonomi masih goyah, perbankan penuh masalah, cadangan devisa tipis, dan beban utang menumpuk tinggi.
Nafas belum kembali sepenuhnya, Aceh masih dalam duka yang mendalam, masalah lain sudah mengetuk pintu. Bom Bali meledak di tahun 2005. Lalu, setahun berselang, gempa hebat mengguncang Yogyakarta. Rentetan musibah terus berlanjut: pesawat jatuh, kapal tenggelam, dan lain sebagainya. Serasa tak ada habisnya.
Meski berhasil melewati semua itu, cap ‘lamban’ nyaris melekat pada kepemimpinannya. SBY bahkan diolok-olok sebagai ‘kerbau’ karena dianggap terlalu pelan mengambil langkah. Aksi demonstrasi hampir tiap hari menghiasi jalanan ibu kota.
Tapi coba ingat-ingat lagi. Pernahkah kita mendengar SBY mengeluh panjang lebar di muka umum? Pernahkah ia curhat dalam pidato resminya?
Jawabannya: tidak. Sama sekali tidak.
Dia justru memilih untuk tetap bekerja. Kritik pedas terutama dari PDIP kala itu dia terima sebagai cambuk. Cambuk untuk bekerja lebih keras, berbicara lebih hati-hati, dan bertindak lebih perhitungan. Semuanya dijalani dengan tenang.
Artikel Terkait
Ustaz Asep Sindir Pemerintah: Banjir Bandang Akibat Ulah Manusia dan Pejabat Tak Kompeten
Kabur dari Tahanan, Hoaks Picu Amuk Massa Bakar Polsek di Mandailing Natal
Fadli Zon Pastikan Revitalisasi Gedung Sarekat Islam Semarang Dimulai 2026
Detak Jantung dan Segel Map: Saat Ijazah Jokowi Akhirnya Terbuka di Ruang Gelar Perkara