Gempa dan tsunami Aceh 2004 bukan cuma meninggalkan duka. Tragedi itu membuka mata kita semua tentang betapa rapuhnya kesiapan kita. Saat itu, sistem peringatan dini hampir tak ada. Masyarakat pun banyak yang tak paham: surutnya air laut secara tiba-tiba usai gempa adalah alarm alam yang mematikan. Akibatnya, korban berjatuhan. Padahal, dengan peringatan yang tepat dan evakuasi cepat, banyak nyawa yang sebenarnya bisa diselamatkan.
Namun begitu, musibah besar itu akhirnya menjadi titik balik. Pemerintah bergerak cepat dengan tanggap darurat masif, lalu mulai membenahi sistem penanggulangan bencana dari akarnya. Lahirlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. UU ini jadi game-changer. Pendekatan yang semula cuma reaktif nanggapi setelah bencana datang pelan-pelan bergeser ke arah yang lebih proaktif. Intinya, mengurangi risiko sebelum musibah terjadi.
Di tingkat pusat, dibentuklah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sementara di daerah, lewat amanat Pasal 18 dan 19 UU tersebut, wajib dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Ini upaya desentralisasi, agar respons bisa lebih cepat dan tepat sampai ke level paling lokal.
Sejak BNPB berdiri, paradigma kita berubah total. Sekarang, fokusnya bukan cuma menunggu dan menanggapi, tapi pada mitigasi dan kesiapsiagaan. BNPB mengoordinasi semuanya, mulai dari pencegahan, kesiapan, tanggap darurat, hingga pemulihan. Langkah-langkah konkret pun dijalankan: sistem peringatan dini tsunami dibangun, peta risiko disusun, jalur evakuasi ditandai, sampai edukasi dan simulasi rutin digelar di sekolah dan komunitas.
Upaya masif ini punya payung hukum yang kuat. Berkat pembenahan itu, Indonesia kini jauh lebih siap. Harapannya jelas: tragedi sebesar dua dekade silam tak terulang lagi.
Anomali Siklon Tropis
Dua puluh tahun kemudian, Sumatra kembali memberi pelajaran pahit. Akhir November 2025, banjir bandang dan tanah longsor serentak melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Hujan lebat mengguyur tanpa henti berhari-hari. Sungai-sungai meluap, lereng-lereng bukit ambrol. Ratusan desa terendam, infrastruktur vital lumpuh total. Korban jiwa mencapai ratusan orang. Data BNPB mencatat, lebih dari 400 nyawa melayang di tiga provinsi itu.
Penyebabnya? Curah hujan ekstrem yang dipicu oleh kemunculan Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka, perairan timur Aceh. Fenomena ini langka. Wilayah dekat khatulistiwa seperti ini biasanya relatif aman dari siklon karena efek rotasi Coriolis yang minim.
Uniknya, Senyar tidak sendirian. Di waktu yang hampir bersamaan, Topan Koto mengganas di Samudra Pasifik Barat Laut, memicu banjir dan longsor parah di Filipina sebelum melemah ke arah Vietnam. Interaksi atmosfer yang tidak biasa antara Koto di utara dan Senyar di selatan ini disebut-sebut turut memperparah hujan di Sumatra.
Artikel Terkait
Diskusi Buku Reset Indonesia di Madiun Dibubarkan Paksa, Panitia Bingung
Polisi Selidiki Lokasi Eksekusi Mahasiswi UMM yang Ditemukan Tersangkut di Sungai
Jumadil Akhir: Mengapa Bulan di Padang Pasir Dinamai dari Kata Beku?
Ledakan di Gaza Tewaskan Enam Warga, Termasuk Bayi Empat Bulan