Ekoteologi: Saat Agama Menjawab Banjir yang Tak Kunjung Usai

- Sabtu, 20 Desember 2025 | 21:06 WIB
Ekoteologi: Saat Agama Menjawab Banjir yang Tak Kunjung Usai

Banjir di Sumatera dan wilayah lain di Indonesia sudah jadi tamu yang terlalu sering datang. Air yang meluap bukan cuma soal hujan deras semata. Ada yang lebih dalam: hutan yang gundul, tata ruang yang amburadul, dan pembangunan yang seringkali memaksa alam hingga ke batasnya. Ini bukan lagi sekadar bencana alam biasa, melainkan tanda krisis ekologis yang kian mengkhawatirkan.

Di sisi lain, situasi ini memaksa kita untuk merenung. Selama ini, peran agama kerap baru terasa setelah musibah datang. Lewat doa bersama, khutbah, atau penguatan spiritual bagi korban. Peran itu tentu penting dan tak tergantikan. Namun begitu, ketika banjir terus berulang, agama pun sebenarnya sedang diuji. Apakah ia cukup berperan sebagai kekuatan moral yang mencegah kerusakan, atau hanya sekadar menguatkan setelah segalanya terjadi?

Di sinilah gagasan ekoteologi menemukan momentumnya. Singkatnya, ekoteologi melihat alam bukan sebagai objek mati yang bisa dieksploitasi seenaknya. Ia adalah bagian dari amanah spiritual yang harus dijaga. Dalam Islam, misalnya, ada ayat yang cukup terkenal dan relevan.

Ayat itu jelas sekali menyatakan bahwa kerusakan lingkungan adalah buah dari pilihan dan perbuatan kita sendiri. Prinsip ini selaras dengan kaidah fiqh yang mengatakan mencegah kerusakan harus lebih diutamakan daripada mengebar keuntungan. Artinya, dalih pembangunan atau pertumbuhan ekonomi tak bisa membenarkan tindakan yang merusak lingkungan dan mengancam nyawa orang banyak.

Nilai serupa ternyata juga hidup dalam tradisi agama lain. Dalam Kekristenan, ada konsep stewardship of creation, yang menempatkan manusia sebagai penatalayan, bukan penguasa, atas ciptaan. Ini menunjukkan bahwa kepedulian pada lingkungan sebenarnya adalah nilai universal yang dipegang lintas iman.


Halaman:

Komentar