Yang menggembirakan, ekoteologi kini mulai melangkah keluar dari ruang diskusi. Ia telah diangkat menjadi program strategis oleh Kementerian Agama, sebuah gagasan yang ditegaskan langsung oleh Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar. Tujuannya jelas: agar agama tak cuma hidup dalam ritual, tapi juga memberi dampak nyata dalam kehidupan berbangsa, termasuk merespons krisis lingkungan.
Momentum ini terasa semakin pas. Tahun ini, Kementerian Agama genap berusia 80 tahun, sejak berdiri di awal kemerdekaan. Delapan dekade adalah waktu yang cukup panjang untuk menegaskan kembali peran agama sebagai penjaga etika publik, termasuk dalam urusan menjaga alam.
Tapi, jangan salah. Tantangan terbesarnya ada di lapangan. Gagasan ini harus sampai ke akar rumput. Para kiai, pendeta, biksu, ustadz, hingga penyuluh agama perlu aktif menyuarakannya. Pesan moral tentang menjaga lingkungan harus mengalir dari mimbar ke mimbar, dari pengajian ke pengajian, hingga akhirnya menjadi kesadaran kolektif.
Lebih dari itu, seruan ini juga harus mengarah pada para pengambil kebijakan. Setiap keputusan pembangunan, dari tingkat pusat sampai daerah, wajib mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan dampak jangka panjangnya. Negara tidak boleh hanya sigap saat bencana tiba, tapi harus memastikan kebijakannya sendiri tidak malah melahirkan bencana baru.
Pada akhirnya, krisis ekologis ini adalah ujian bagi kita semua. Agama diuji bukan dari kefasihan berkhotbah, tapi dari seberapa jauh ia bisa mengubah kebijakan dan tindakan nyata. Jika iman mampu menuntun arah pembangunan yang lebih adil bagi alam, barulah agama benar-benar hadir sebagai kekuatan moral yang dibutuhkan untuk masa depan Indonesia.
Artikel Terkait
Harta Karun Abad ke-13 Ditemukan di Hutan Tritik Nganjuk
Jurnalis Diberi Pelatihan Militer, Menhan: Bekali, Bukan Kendalikan
Kapolresta Manado Turun Langsung Cek Kesiapan Pos Nataru
Manado Pacu Revitalisasi Terminal Malalayang, Targetkan Jadi yang Termegah di Kawasan Timur