Investasi asing, menurutnya, mestinya membawa manfaat ekonomi dan alih teknologi. Bukan malah menciptakan rasa tidak aman dan memicu konflik sosial di daerah. Ada yang salah dengan pengawasannya.
Lalu ada lagi soal drone. Penggunaan alat ini oleh warga asing di area hutan dan tambang bukan hal sepele. Dari sudut pandang pertahanan, drone bisa dipakai untuk pemetaan wilayah dan mengumpulkan data sensitif. Ketika aparat mencoba menegur, respons yang mereka dapat justru kekerasan.
Ia mendesak pemerintah untuk bersikap tegas dan jernih. Penegakan hukum terhadap pelaku harus berjalan tanpa ragu-ragu. Jangan sampai hubungan diplomatik antarnegara justru membuat kita ragu menindak pelanggaran oleh individu atau korporasi.
Kasus Ketapang ini, dalam analisis Ginting, adalah pengingat pahit. Ancaman terhadap keamanan nasional tak selalu datang dari serangan militer konvensional. Ancaman non-militer seperti ini kekerasan oleh aktor asing di wilayah strategis bisa sama bahayanya jika dibiarkan merajalela.
Pada akhirnya, publik hanya ingin melihat kehadiran negara yang nyata. Ketegasan dalam menangani kasus ini bukan berarti kita memusuhi asing. Tapi ini soal prinsip: siapa pun yang berada dan mencari nafkah di Indonesia, wajib tunduk pada hukum Indonesia.
Peringatan itu sudah berbunyi. Sekarang, tinggal bagaimana kita menyikapinya.
Artikel Terkait
Demokrasi di Ujung Tanduk: Kembalinya Siklus Korupsi Kepala Daerah
Sumatera Terkoyak, Status Bencana Nasional Masih Dipertanyakan
Megawati Geram: Sirine Damkar Ngoang-ngoeng, tapi Bantuan Lambat Tiba
Kekuasaan dan Bisnis: Ketika Pengusaha Berkuasa Lupa Diri