Di tengah gegap gempita modernisasi yang terus menggerus Banten, ada sebuah tempat yang tetap teguh. Sebuah oase spiritual yang tak goyah oleh zaman: Pondok Pesantren Al-Anwariyah Al-Idrus.
Anda bisa menemukannya di Kampung Pajagan, Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak. Tapi pesantren ini jauh lebih dari sekadar lokasi di peta. Ia adalah mercusuar. Sebuah tempat yang memancarkan cahaya ilmu, mengajarkan adab, dan serius dalam urusan pemurnian jiwa atau tazkiyatun nafs.
Nama "Al-Anwariyah" punya makna mendalam: cahaya. Sementara "Al-Idrus" merujuk pada silsilah keilmuan yang bersambung ke pesantren induk yang legendaris di Lebak, Al-Idrus Rancagawe. Jejaknya dimulai pada 1982, atau tepatnya 5 Rabiul Tsani 1402 Hijriyah.
Di balik berdirinya pesantren ini, ada seorang ulama kharismatik: KH. Nunung Anwarudin. Para santri dan warga sekitar lebih suka memanggilnya "Bapak Haji". Beliau adalah murid dari Abuya H. Idrus di Pesantren Rancagawe, mewarisi langsung tradisi Idrusiyah yang kental dengan tasawuf, fiqih, dan tentu saja, akhlak.
Visi beliau sederhana tapi berat: membangun generasi yang berilmu dan bertakwa. Awalnya, pesantren ini dirintis di Desa Kebonjati. Namun, pada suatu hari di akhir Februari 2012, tepatnya 29 Februari atau 7 Rabiul Tsani 1433 H, terjadi sebuah "hijrah".
Pesantren pindah ke Kampung Pajagan. Ini bukan sekadar urusan pindah alamat, lho. Lebih dari itu, ia adalah simbol perjuangan untuk memperluas dakwah. Di tanah baru inilah, perkembangan pesantren justru kian pesat.
Setahun setelah hijrah, tepatnya 2013, berdirilah Yayasan Al-Anwariyah Al-Idrus dengan akta notaris dan pengesahan resmi dari Kemenkumham. Legalitas ini mengukuhkannya sebagai lembaga pendidikan formal yang terakreditasi, dengan program MTs dan MA.
Namun begitu, jangan salah. Inti pendidikannya tetaplah salaf. Di sini, kitab-kitab kuning klasik seperti Fathul Qarib, Alfiyah Ibnu Malik, atau Ihya Ulumuddin masih menjadi menu utama. Metode pengajarannya pun tradisional: sorogan, bandongan, dan wetonan.
Figur sentralnya tetaplah Bapak Haji. Beliau bukan cuma pengajar, melainkan pembimbing spiritual yang sepenuh hati. Dalam pandangannya, ilmu tanpa adab itu percuma. Bahkan berbahaya. Beliau sering menekankan, adab kepada kiai, guru, dan sesama adalah kunci utama agar ilmu yang didapat membawa berkah.
Di sisi lain, spiritualitas dirawat dengan serius. Lewat dzikir, shalat malam, dan tazkiyatun nafs, para santri dibentuk untuk menjadi insan kamil manusia yang rendah hati, sabar, dan bermanfaat bagi sekitarnya.
Artikel Terkait
Fokus Penanganan Bencana Sumatera Beralih ke Pembangunan Hunian
Benteng Kayu: Pesantren Aceh Tamiang Jadi Penyelamat di Tengah Amukan Banjir Bandang
Warga Kampung Bugis Bali Hibahkan Lahan Miliaran untuk Asrama Haji
TikTok Lepas 80 Persen Saham AS demi Hindari Larangan Total