Bayangkan sebuah simulasi. Sederhana saja, tentang bagaimana roda ekonomi bisa berputar kencang, atau malah macet total. Penyebabnya? Bukan karena uangnya hilang. Tapi lebih karena cara kita, sebagai manusia, memandang hari esok yang tiba-tiba terasa begitu suram.
Kita ambil satu tokoh, sebut saja Fulan. Dia orang berpunya, bisa dibilang seorang kapitalis. Portofolio investasinya itu lengkap banget: dari saham, reksa dana, sampai obligasi negara, deposito, properti, emas, bahkan aset kripto pun ada. Prinsip don’t put your eggs in one basket dia pegang teguh. Bagi Fulan, diversifikasi itu lebih dari sekadar strategi; itu adalah cara bertahan hidup di tengah dunia yang serba tak pasti.
Tapi, ekonomi kan nggak hidup di ruang kosong. Setiap keputusan, sekecil apapun, selalu dipengaruhi bayang-bayang masa depan. Nah, belakangan ini, ketidakpastian global, ancaman bencana, plus banjirnya berita pesimis di media sosial soal kinerja pemerintah, bikin cara pandang Fulan berubah. Dia jadi jauh lebih hati-hati. Hasil keuntungan dari saham atau instrumen lain, bukannya dipakai jajan, malah dia alihkan ke emas. Bagi dia, emas itu simbol perlindungan. Aset yang aman.
Gaya hidupnya juga mencerminkan hal itu. Kesehatan dia anggap investasi jangka panjang. Rajin olahraga, jaga pola makan, dan lebih memilih masak sendiri di rumah. Makan di warung atau restoran jadi jarang, karena menurutnya terlalu banyak menyajikan karbohidrat tinggi. Alhasil, belanja bulanannya lebih didominasi bahan mentah, bukan produk siap santap.
Kalau diamati, pola Fulan ini mirip dengan orang kaya pada umumnya. Dia bukan tipe yang hobi belanja. Beli sesuatu cuma kalau ada kebutuhan yang jelas. Tampil mewah? Nggak perlu. Penampilannya sederhana, nyaman, dan fungsional. Kalaupun beli baju, dia pilih merek bagus yang awet dan tahan lama. Pola hidup seperti ini membuat interaksinya dengan pelaku UMKM, baik di sektor fashion maupun kuliner, hampir nol.
Nah, Ini Masalahnya Kalau Fulan Bukan Cuma Satu Orang
Masalah baru muncul ketika orang seperti Fulan ternyata banyak jumlahnya. Atau lebih parah lagi, ketika seluruh kalangan berpunya punya persepsi dan perilaku yang mirip. Dalam skenario ini, uangnya nggak lenyap. Cuma, alirannya mandek. Uang itu berputar-putar di kalangan mereka sendiri: di pasar modal, instrumen keuangan, dan transaksi antar pemilik modal.
Keadaan makin runyam ketika pola pikir ini menular ke kelas menengah. Dengan aspirasi jadi kaya dan kecemasan akan masa depan, mereka mulai meniru Fulan. Konsumsi ditahan, uang dipilih untuk ditabung. Padahal, kelas menengah inilah tulang punggung ekosistem UMKM. Mereka pembeli setia warung kopi, toko pakaian lokal, dan usaha kecil lainnya.
Saat mereka berhenti belanja, dampaknya langsung terasa. Permintaan merosot, omzet UMKM terjun bebas, dan sektor riil kehilangan tenaga. Ini bukan lagi soal hidup hemat, lho. Ini soal sirkulasi uang yang tersumbat di tengah jalan.
Artikel Terkait
Garis Start yang Tak Setara: Ketika Pendidikan Justru Memperdalam Jurang
Trump Desak Ukraina Segera Akhiri Perang, Sebut Rusia Sudah Siap
KPK Amankan Bupati Bekasi dalam Operasi Dini Hari
Rusia Ingatkan Trump Soal Venezuela: Jangan Lakukan Kesalahan Fatal