Para menteri lebih sibup melapor asal bapak senang. Mereka juga memanfaatkan momen untuk ‘bikin konten’. Datang dengan kemewahan, kadang tanpa sadar memperlihatkan ketelanjangan sikap. Ada menteri makan sate usai kunjungan daerah bencana. Atau anggota DPR yang tak sengaja merekam video kontennya, malah menangkap basah seorang menteri lagi menghisap cerutu yang harganya selangit.
Kenapa bisa begini? Menurut pengamatan saya, ini berkaitan dengan gaya presiden memerintah. Kabinetnya dibuat gemuk untuk membagi-bagi kekuasaan di antara pendukung. Dia ingin sistemnya mirip Mabes TNI dia panglimanya, dibantu para asisten (dalam hal ini para Menko).
Dia hanya berurusan dengan para Menko. Jarang sekali bertemu langsung dengan menteri teknis, kecuali beberapa yang jadi perhatian khusus seperti Menteri ESDM Bahlil Lahadalia atau Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Atau Menko Pangan Zulkifli Hasan, yang nyaris berperan seperti wakil presiden karena urusannya luas sekali.
Sementara itu, presiden dikelilingi oleh asisten-asisten pribadi. Mereka inilah yang mengatur segalanya: jadwal, kebutuhan, bahkan konon suhu kolam renang. Presiden tampak sangat dekat dan loyal pada mereka.
Ingat kejadian Agustus lalu? Presiden menjemput sendiri seorang asistennya di Bengkulu dalam perjalanan dinas ke Malaysia. Banyak yang mengernyitkan dahi. Sejauh itu kah loyalitasnya pada para pria muda di sekelilingnya?
Para asisten ini pun, sepertinya, tak sepenuhnya menghayati sakralnya lembaga kepresidenan. Ini lembaga negara, bukan urusan pribadi. Coba intip akun Instagram beberapa dari mereka. Mereka bebas berpose apa saja di dekat presiden, dan sang bos pun tak keberatan.
Tapi itu hal kecil. Lalu apa kaitannya dengan penanganan bencana? Presiden mengisolasi diri di balik lingkaran asisten yang masih hijau ini. Mereka terlalu protektif. Semua informasi disaring. Kabarnya, saat protes meluas Agustus lalu hingga insiden Affan Kurniawan, presiden sama sekali tak mendapat informasi yang utuh.
Itu baru satu contoh. Banyak hal lain yang menunjukkan ketidakkompetenan. Misalnya, penolakan untuk menetapkan status bencana nasional. Alasannya, kita mampu tangani sendiri. Tapi kalau memang mampu, mengapa korban masih berjatuhan dan bantuan tak kunjung tepat sasaran?
Di balik semua ini, pemerintah justru sibuk memompa nasionalisme sampai dada rakyat kecil mau pecah. Tadi, sambil menulis, saya baca kutipan di sebuah grup WA. Bunyinya kira-kira: “Nasionalisme untuk rakyat kecil, Tanah Air untuk para elit.”
Persis. Kita disuruh mencintai tanah yang sudah mereka kapling-kapling dan air yang sudah mereka cemari. Ironinya menyakitkan.
Artikel Terkait
Kakek 71 Tahun Terancam Penjara Usai Keenam Kalinya Tangkap Burung Cendet di Baluran
Kepala BGN Main Golf di Tengah Bencana Sumatera, Klaim Acara Amal
Satya Budaya Nalendra: Tujuh Pilar Budaya dan Peran Unik Jaya Suprana sebagai Penggagas
Pertikaian Tetangga Berdarah Berujung 15 Tahun Penjara untuk Ayah dan Anak di Palembang