Ketika Allah berfirman akan menambah nikmat bagi orang yang bersyukur, tambahan itu bisa jadi adalah rasa cukup. Gaji kamu mungkin stagnan, kondisi rumah belum berubah, tapi cara kamu memandang dan merasakan hidup itu sendiri yang berubah total. Hal-hal yang dulu bikin stres, sekarang terasa bisa dihadapi. Yang dulu bikin gelisah, kini bisa diterima dengan lapang.
Dan rasa cukup ini, sungguh, sering kita lupakan sebagai sebuah nikmat. Padahal, inilah kemewahan sejati. Orang yang punya rasa cukup tidak hidup dalam kejaran tanpa finis. Dia tetap bekerja, berusaha, punya cita-cita, tapi hatinya tidak diperbudak oleh rasa lapar yang tak pernah kenyang.
Sebaliknya, coba bayangkan. Tanpa rasa cukup, nikmat sebesar gunung emas pun akan terasa seperti kerikil. Gaji besar? Masih kurang. Rumah mewah? Masih ada yang lebih bagus. Hidup berubah jadi lomba marathon yang tak ada garis finisnya, melelahkan dan menyiksa.
Jadi, syukur pada akhirnya bukan tentang meminta hidup berubah sesuai keinginan kita. Tapi tentang mengubah cara hati kita dalam memandang hidup yang sudah diberikan. Allah tidak selalu menambah apa yang kita punya. Lebih sering, Dia memperbaiki cara kita merasakannya.
Mungkin itu sebabnya rasa cukup itu terasa sangat mahal harganya. Ia tidak bisa dibeli. Ia harus ditumbuhkan dari dalam. Ia yang membuat hidup sederhana terasa lapang, dan hidup yang sulit terasa masih ada jalannya.
Kalau nikmat diukur dari besarnya angka, pasti selalu ada orang yang lebih beruntung dari kita. Tapi kalau nikmat diukur dari kedamaian hati dan rasa cukup, maka peluangnya terbuka untuk siapa saja. Di situlah keindahannya.
Namun begitu, jangan salah paham. Rasa cukup bukan berarti kita berhenti berikhtiar dan malas-malasan. Justru sebaliknya. Dari hati yang sudah tenang dan merasa cukup, lahirlah usaha yang lebih jujur, ikhlas, dan tidak melelahkan. Karena motivasinya bukan lagi untuk mengejar kekurangan, tapi untuk berkarya dan berbagi.
Artikel Terkait
Sastra Tak Pernah Mati: Dari Lontar hingga Layar Ponsel
Bromo Terjepit: Ekonomi Menggeliat, Alam Mulai Merintih
Otoritas Tanpa Kelekatan: Ketika Kepatuhan Anak Hanya Jadi Topeng Jarak Emosional
Gatot Nurmantyo Tuding Kapolri Bangkang Konstitusi Lewat Perpol 10/2025