Pemahaman kita tentang syukur seringkali sederhana sekali sejak kecil. Kalau bersyukur, nikmat akan ditambah. Begitu kan? Lalu kita membayangkan tambahan itu dalam bentuk yang paling nyata: uang. Gaji naik, rezeki lancar, dan seterusnya.
Saya sendiri dulu berpikir persis seperti itu.
Logikanya linear. Bersyukur atas gaji tiga juta, maka mungkin akan dinaikkan jadi enam juta. Bersyukur lagi, naik lagi. Rasanya seperti menaiki tangga angka yang tak berujung. Syukur jadi semacam transaksi, sebuah kalkulasi iman.
Tapi pengalaman hidup ternyata lebih rumit dari itu.
Saya perhatikan, ada orang yang penghasilannya pas-pasan, tapi hidupnya justru terasa tenang. Dia tahu mana yang bisa didapatkan sekarang, mana yang harus ditunda, dan mana yang sebenarnya tak perlu dikejar sama sekali. Wajahnya tidak dipenuhi kecemasan.
Di sisi lain, tak jarang kita lihat orang dengan gaji fantastis, ratusan juta sebulan, tapi hidupnya justru seperti dikejar-kejar. Rasanya selalu kurang. Penghasilan membesar, tapi pikirannya menyempit. Kebutuhannya melonjak tak karuan, dan rasa puas itu seperti hantu yang tak pernah bisa ditangkap.
Dari situ saya mulai menangkap masalahnya. Ini bukan perkara angka di rekening. Ini soal rasa di dalam hati yang tidak pernah diajari cara berhenti, cara merasa 'sudah'.
Di sanalah pemahaman lama saya mulai bergeser. Janji tambahan nikmat itu rupanya tidak melulu soal menambah kuantitas. Seringkali, ia justru hadir dalam bentuk yang tak terlihat mata, tapi sangat terasa di dada.
Artikel Terkait
Otoritas Tanpa Kelekatan: Ketika Kepatuhan Anak Hanya Jadi Topeng Jarak Emosional
Gatot Nurmantyo Tuding Kapolri Bangkang Konstitusi Lewat Perpol 10/2025
Didu Desak Prabowo Lakukan Operasi Kedaulatan untuk Rebut Indonesia dari Oligarki dan Asing
Polisi Ungkap Pelaku Pembakaran Kalibata, Kerugian Capai Rp 1,2 Miliar