Ray, yang juga mantan aktivis 1998, menambahkan bahwa cara berpikir seperti ini gagal memahami perbedaan mendasar. Bantuan dari luar, katanya, bersifat sukarela dan patut dinilai dari kerelaannya, bukan besar kecilnya nominal.
“Peran pemerintah bukanlah membantu. Tapi bersifat wajib,” tegasnya.
Ia menjelaskan lebih lanjut, kehadiran negara dalam bencana adalah sebuah kewajiban mutlak. Mulai dari memberi makan, menyediakan tempat tinggal, hingga memastikan bencana serupa tidak terulang. Itu tanggung jawab yang melekat, sangat berbeda dengan tindakan sukarela atas dasar empati.
Kilas Balik: Komentar Tito Soal Bantuan
Semua ini berawal dari komentar Mendagri Tito Karnavian dalam sebuah wawancara video, Selasa (16/12/2025). Saat itu, ia mengomentari rencana bantuan obat-obatan dari pengusaha Malaysia untuk korban Aceh.
Setelah dikaji, nilai bantuannya dinilai tidak besar, bahkan kurang dari Rp1 miliar.
Begitu kata Tito.
Mantan Kapolri itu khawatir, bantuan asing dalam jumlah kecil justru bisa menimbulkan persepsi yang salah di masyarakat. Seolah-olah pemerintah tidak optimal menangani bencana, padahal anggaran dan sumber daya yang dikerahkan negara jauh lebih masif.
Namun begitu, penjelasan itu rupanya belum cukup meredam gelombang kritik yang muncul.
Artikel Terkait
Sastra Tak Pernah Mati: Dari Lontar hingga Layar Ponsel
Bromo Terjepit: Ekonomi Menggeliat, Alam Mulai Merintih
Otoritas Tanpa Kelekatan: Ketika Kepatuhan Anak Hanya Jadi Topeng Jarak Emosional
Gatot Nurmantyo Tuding Kapolri Bangkang Konstitusi Lewat Perpol 10/2025