Gelondongan Ilegal di Tengah Banjir: Warga Terjepit, Negara Terlambat

- Selasa, 16 Desember 2025 | 20:50 WIB
Gelondongan Ilegal di Tengah Banjir: Warga Terjepit, Negara Terlambat

Nasib Gelondongan sebagai Barang Bukti

Secara hukum, kayu-kayu itu statusnya barang bukti. Harus diamankan, dicatat, lalu mungkin dilelang atau dimusnahkan. Di atas kertas, prosedurnya tampak rapi. Di lapangan? Ceritanya lain. Prosesnya lambat, berbelit, dan penuh ketidakjelasan. Kayu dibiarkan menumpuk, lapuk dimakan cuaca, atau bahkan entah bagaimana bisa menghilang di tengah jalan.

Bagi warga, ini cuma menambah luka. Mereka dilarang menyentuh kayu yang ada di depan mata, sementara negara terlihat gamang mengurusnya. Ketika negara lamban di hilir dan lembek di hulu, setiap larangan hanya memantik rasa frustrasi.

Kita Semua Terbiasa

Bahaya terbesarnya adalah ketika kita mulai menganggap ini hal biasa. Jika setiap banjir pasti membawa kayu gelondongan, dan kayu itu dilihat sebagai ‘bonus’ musiman, maka tanpa sadar kita memberi pembenaran pada pembalakan liar. Banjir bukan lagi alarm darurat, melainkan bagian dari rutinitas. Kerusakan hutan pun dianggap sebagai latar belakang yang tak bisa diubah.

Inilah jebakan bias normalitas secara kolektif. Semua orang tahu ada yang salah, tapi semua bertingkah seolah ini sudah takdir. Kayu hanyut jadi pemandangan tahunan, bukan lagi bukti kegagalan sistemik yang mesti dibongkar.

Solusi yang Tak Gampang

Jalan keluarnya tidak mudah, dan jarang populer. Pertama, negara harus hadir lebih awal, sebelum air naik. Pengawasan serius di hutan-hutan hulu harus jadi prioritas nyata, bukan sekadar wacana di rapat. Jika kayu ilegal berhasil dicegah sejak awal, banjir akan kehilangan salah satu ‘amunisinya’.

Kedua, di hilir, dibutuhkan mekanisme yang cepat dan adil. Pendataan harus transparan. Keputusan tentang pemanfaatan kayu untuk kepentingan publik misalnya membangun kembali fasilitas umum harus jelas. Yang tak kalah penting, warga korban banjir perlu dilindungi, bukan dicurigai. Tanpa itu, hukum hanya akan terasa seperti alat yang menghukum pihak yang paling tak berdaya.

Pesan dari Batang Kayu

Pada akhirnya, setiap batang kayu yang terdampar itu sedang bicara. Ia bercerita tentang hutan yang gundul, tentang sungai yang tak terbendung, dan tentang negara yang kerap absen di saat paling dibutuhkan. Persoalannya bukan cuma soal boleh atau tidaknya memakai kayu itu. Pertanyaan yang lebih penting adalah: sampai kapan kita membiarkan banjir menjadi cara alam membongkar kegagalan kita sendiri?

Selama gelondongan kayu masih ikut menghantam rumah-rumah warga, selama itu pula kita tahu akar masalahnya belum benar-benar disentuh.

Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Universitas Bung Hatta Padang, Sumatera Barat.


Halaman:

Komentar