Banjir, Pembalakan Liar, dan Negara yang Selalu Datang Terlambat
Lumpur, puing, dan kayu gelondongan raksasa. Itulah pemandangan yang selalu berulang usai banjir besar menerjang. Batang-batang kayu itu teronggok di halaman rumah warga, bukan kayu hanyut biasa. Ukurannya seragam, potongannya rapi. Jelas, ini bekas tebangan industri. Mereka seperti saksi bisu yang terdampar, menceritakan sebuah kisah pilu dari hulu: tentang hutan yang dibabat habis, sungai yang tak lagi punya penahan, dan negara yang baru muncul setelah segalanya porak-poranda.
Di tengah kepungan lumpur dan kerusakan, warga punya pertanyaan yang sangat manusiawi. Kayu-kayu ini, bolehkah diambil? Dijual? Daripada membusuk begitu saja, bukankah lebih baik dimanfaatkan untuk membangun kembali rumah yang ambruk?
Pertanyaan itu wajar. Bencana datang tiba-tiba, memiskinkan dalam sekejap. Sementara itu, bantuan negara kerap lambat, datang dengan segudang formulir dan prosedur yang rumit. Tapi di sinilah paradoksnya dimulai. Apa yang tampak seperti rezeki darurat itu, sejatinya adalah barang bukti dari sebuah kejahatan yang masih berkeliaran bebas.
Cerita dari Tempat yang Jauh
Banjir jarang datang sendirian. Ia selalu membawa cerita dari tempat-tempat yang tak terlihat, jauh dari sorotan kamera. Ambil contoh lereng-lereng hutan di hulu sungai. Saat pohon-pohonnya habis ditebang, tanah kehilangan cengkeramannya. Air hujan yang dulu diserap akar, kini langsung meluncur deras ke bawah. Sungai pun meluap, menjadi arus ganas yang menyapu apa saja termasuk, tentu saja, kayu-kayu hasil tebangan liar itu.
Jadi, gelondongan yang terdampar di hilir bukanlah korban angin atau badai. Bentuknya yang seragam dan potongannya yang bersih menunjukkan ia ditebang dengan sengaja, dengan rencana. Banjir hanya menjadi kurir tak terduga yang mengantarkannya ke pemukiman warga. Bisa dibilang, ini adalah fase distribusi dari sebuah industri gelap yang belum tersentuh hukum.
Posisi Warga yang Serba Salah
Nah, di sinilah masalahnya. Ketika kayu-kayu itu sampai di halaman, posisi warga jadi serba salah. Di satu sisi, mereka jelas korban. Rumah terendam, harta benda hilang. Di sisi lain, di mata hukum, kayu tanpa dokumen resmi adalah barang ilegal. Siapa pun yang memegangnya berisiko dijerat pasal. Negara meminta kepatuhan, tapi sering lupa bahwa untuk patuh, orang butuh kehadiran nyata, bukan sekadar ancaman dari jauh.
Ironinya terasa pahit. Para pembalak di hulu nyaris tak pernah tersentuh. Jaringannya gelap, sulit dilacak. Tapi warga di hilir, yang sudah menderita karena banjir, justru bisa berhadapan dengan pasal. Kayu datang tak diundang, tapi hukum datang dengan tuduhan. Sungguh situasi yang tak adil.
Negara dan Waktu yang Selalu Tersendat
Harus diakui, dalam banyak peristiwa, negara hadir terlambat. Setelah air surut dan kekacauan mulai tertata, barulah aparat datang. Mereka mendata kerusakan, memotret kayu, lalu memasang plang larangan. Tapi pertanyaan mendasarnya kerap tenggelam: sebenarnya, dari mana asal-usul kayu ini? Dan siapa yang membiarkan penebangan itu terjadi?
Pembiaran di hulu adalah bab paling sunyi dalam tragedi ini. Izin yang tumpang-tindih, pengawasan yang ala kadarnya, dan penegakan hukum yang tebang pilih membuat pembalakan liar tumbuh subur. Saat banjir menerjang, kita mudah menyebutnya bencana alam. Padahal, tak jarang ini adalah buah dari bencana regulasi dan politik.
Artikel Terkait
Warisan Beracun: Bagaimana Kebijakan Satu Anak Tiongkok Melahirkan Stigma Perempuan Sisa
Font Times New Roman Gantikan Calibri, Rubio Picu Perang Simbol di Birokrasi AS
Ruang Rapat Tertutup dan Misteri Dana Sosial yang Raib
Revitalisasi Terminal Malalayang Tak Ganggu Arus Mudik Nataru