Secara akademis, mencintai bangsa bisa dilihat sebagai praktik etis yang berpandangan jauh ke depan. Ia menampik logika pragmatis yang mengorbankan masa depan demi keuntungan sesaat. Di sini, ketulusan itu terwujud dalam keberpihakan nyata pada pendidikan, kelestarian lingkungan, dan pembangunan manusia. Bangsa yang dicintai dengan tulus bukan cuma bangsa yang kuat secara ekonomi atau militer, melainkan bangsa yang bermartabat secara moral. Ketulusan sejati selalu memikirkan anak cucu kita nanti.
Lebih jauh lagi, ketulusan berfungsi sebagai penyeimbang ketika cinta bangsa dipolitisasi. Saat nasionalisme cuma jadi alat legitimasi kekuasaan, cinta pun berubah jadi alat manipulasi. Di sinilah peran kaum intelektual dan insan sastra menjadi krusial: menjaga jarak kritis, merawat nalar publik, dan menolak keras upaya menjadikan cinta bangsa sebagai komoditas politik belaka. Ketulusan yang hakiki tak perlu berteriak. Ia konsisten. Tak demonstratif, tapi berakar kuat.
Bung Hatta, sang proklamator, pernah bilang bahwa cinta tanah air adalah perjuangan tulus untuk menjaganya. Pernyataan itu sederhana, tapi maknanya dalam.
Pada dasarnya, mencintai bangsa adalah kerja batin yang panjang dan melelahkan. Butuh kesabaran epistemik kesediaan untuk terus belajar, merevisi pandangan, dan memperdalam pemahaman. Ketulusan sejati bukanlah titik akhir. Ia adalah proses yang tak pernah benar-benar selesai, terus diperjuangkan. Dan dalam ketulusan semacam itulah, cinta bangsa menemukan kecerdasannya: tenang, reflektif, dan penuh tanggung jawab. Bukan untuk berkhianat.
Jadi, cara cerdas mencintai bangsa adalah dengan menjadikan ketulusan sebagai fondasi etika dan intelektual kita. Ketulusan yang tak silau oleh simbol, tak tunduk pada kepentingan sempit, dan tak gentar pada kebenaran. Selama ketulusan itu kita pelihara, bangsa ini akan tetap punya arah bukan sebagai mitos kosong untuk dibanggakan, tapi sebagai rumah bersama yang terus kita perbaiki dengan kesadaran dan cinta yang dewasa. Itulah martabat dan nilai luhur yang hakiki. Tabik.
- AENDRA MEDITA, penulis dan jurnalis, aktif di Jala Bhumi Kultura (JBK)
Artikel Terkait
Revitalisasi Terminal Malalayang Tak Ganggu Arus Mudik Nataru
Gus Ipul Serahkan Santunan dan Tinjau Dapur Umum untuk Korban Bencana Aceh
Warga Talaud Desak Tambah Kapal Nataru, KSOP Klaim Sudah Ditambah
KSOP Manado Gelar Ramp Check 11 Kapal Jelang Arus Mudik Nataru