Cinta Bangsa yang Cerdas: Ketulusan sebagai Etika, Bukan Sekadar Slogan

- Selasa, 16 Desember 2025 | 06:00 WIB
Cinta Bangsa yang Cerdas: Ketulusan sebagai Etika, Bukan Sekadar Slogan

Ketulusan Hakiki: Etika Intelektual dalam Mencintai Bangsa, Tanpa Berkhianat

Mencintai bangsa itu kerap kali cuma jadi soal simbol. Slogan, upacara, atau luapan emosi sesaat. Padahal, kalau kita renungi lebih dalam, cinta pada tanah air seharusnya lebih dari itu. Ia adalah sebuah etika intelektual sebuah sikap sadar yang berakar pada ketulusan yang sejati. Cara paling cerdas untuk mencintai negeri ini bukan dengan memujanya secara membabi buta, tapi lewat kesetiaan yang sunyi pada kebenaran, keadilan, dan tanggung jawab kita terhadap sejarah.

Ki Hajar Dewantara pernah mengajarkan, cinta tanah air haruslah berasal dari hati dan terwujud dalam perbuatan. Nah, ketulusan di sini bukan cuma perasaan. Ia adalah posisi moral yang menuntut pikiran jernih dan nyali untuk bersikap. Justru di situlah letaknya: ketika seseorang sanggup mengambil jarak, mengkritisi bangsanya sendiri, tanpa lalu kehilangan rasa memiliki. Di titik ini, cinta bangsa berubah wujud. Dari romantisme buta, menjadi sebuah kesadaran etis yang matang. Bangsa bukan lagi entitas suci yang tak boleh disentuh kritik, melainkan realitas dinamis penuh sejarah ada prestasi, tapi juga tak lepas dari luka dan salah langkah.

Dalam tradisi pemikiran, cinta yang dewasa selalu berjalan beriringan dengan kritik. Mengkritik bukan berarti membenci. Sebaliknya, itu justru bentuk kejujuran tertinggi dari sebuah rasa cinta. Bayangkan, ketika ketidakadilan dibiarkan dengan dalih stabilitas, atau kebohongan ditutupi untuk menjaga citra, apa jadinya? Cinta semacam itu sudah kehilangan integritasnya. Ketulusan yang hakiki menolak kepatuhan buta. Ia memilih untuk setia pada nilai-nilai universal yang justru menjadi fondasi berdirinya bangsa ini. Mencintai dengan cerdas, artinya berani menyuarakan yang benar, sekalipun suara itu tak populer.

Dari kacamata sastra, bangsa sejatinya hidup dalam narasi. Ia dibangun dari cerita tentang perjuangan, pengorbanan, dan harapan bersama. Tapi narasi yang sehat tak cuma memuat kisah heroik. Ia juga harus menyertakan refleksi atas kegagalan. Sastra mengajarkan satu hal: kejujuran dalam bercerita adalah syarat mutlak bagi kedewasaan sebuah peradaban. Mencintai dengan tulus menuntut keberanian untuk merawat ingatan kolektif secara utuh, bukan yang enak-enak saja. Melupakan luka sejarah demi kenyamanan sesaat, itu namanya cinta yang rapuh.

Dalam masyarakat yang majemuk seperti kita, ketulusan juga berarti mengakui keberagaman sebagai kenyataan yang tak terbantahkan. Nasionalisme yang cerdas tidak dibangun di atas penyeragaman, tapi pada kesediaan untuk hidup bersama dalam perbedaan. Memaksakan identitas mayoritas sebagai satu-satunya standar hanya akan membuat bangsa kehilangan semangat dialognya. Justru dalam sikap inklusif lah ketulusan itu hadir kesediaan mendengar yang lain, dan kerendahan hati untuk mengakui bahwa kebenaran bukan monopoli satu kelompok saja.


Halaman:

Komentar