Hambatan lain datang dari alam. Hujan deras dan angin kencang bisa bikin berjualan mustahil. Payung besar penutup lapak bisa terbang terbawa angin. Kalau cuma gerimis, ia masih bisa bertahan dengan lapisan plastik. Itulah resikonya berdagang di tepi pantai.
Pasang Surut Pengunjung
Dulu, fasilitas di pantai ini cukup lengkap. Ada kursi, tikar, area teduh. Pengunjung betah berlama-lama, dan banyak yang jadi pelanggan tetap Pak Andri. Mereka merasa ada yang kurang kalau ke Pangandaran tanpa mampir ke lapaknya.
Namun suasana itu berubah. Revitalisasi dari pemerintah daerah mengurangi beberapa fasilitas itu. Kenyamanan memudar, dan dampaknya langsung terasa ke lapak kecilnya. Menurut perkiraannya, pelanggan turun drastis.
“Sekarang mah wisatawan banyaknya ke daerah Jogja tuh, sekitar tujuh puluh persen lah,” keluhnya.
Harapannya sederhana: fasilitas itu bisa dikembalikan seperti sedia kala.
Lalu ada masa pandemi yang suram. Penghasilan anjlok sampai separuh. Tapi, keajaiban terjadi saat semua berakhir. Pengunjung berdatangan lagi, seperti balas dendam karena lama tak liburan. Pantai Pangandaran hidup kembali, ramai oleh tawa dan debur ombak.
Di balik keramaian itu, harapan para pedagang pesisir seperti Pak Andri tetap mengambang. Tentang laut yang baik, tentang hari esok yang lebih pasti. Mereka terus bertahan, menjemput rezeki di antara butiran pasir dan hempasan ombak yang tak pernah berhenti.
Penulis dan Editor: Aisha Nisrina Nurfaza, Naura Hilmiya Hazima
Artikel Terkait
Harapan Baru untuk Fitri: Rumah di Atas Rawa Akhirnya Direnovasi
Program Makan Bergizi SMPN 1 Tamansari Berjalan Mulus, Jimmy Hantu Tangani Menu
Sidang Perdana Nadiem Batal, Mantan Mendikbud Masih Terbaring di Rumah Sakit
Imigrasi Amankan 220 WNA dalam Operasi Besar-besaran di Kawasan Tambang